Mulai tanggal 10 agustus 2010, beberapa ISP telah memblokir situs-situs porno. Bulan Ramadan memang bulan yang tepat bagi pemerintah untuk melakukan sesuatu yang kontroversial, karena secara otomatis rakyat menahan diri untuk tidak bikin ribut. (Tapi sebetulnya kita bisa kan berdiskusi dan protes tanpa menjadi panas?)
Tapi apa mau dikata, masyarakat kita masih tergolong paguyuban, dalam artian “Masalahmu adalah masalah kami, dan masalah kami adalah masalahmu”. Maka saya tidak heran jika pendukung pemblokiran pornografi memakai argumen bahwa pornografi merusak anak-anak.
Argumen ini benar, tetapi tidak utuh.
Bahwa pornografi tidak boleh diakses yang belum cukup umur, memang benar. Bahwa pornografi anak-anak adalah pidana, itu juga benar. Yang sering tidak disadari adalah: membatasi pornografi dari anak-anak tidak sama dengan membatasi pornografi dari semua orang. Pola pikir semacam ini tergolong cacat dan cekak. Cacat karena membunuh lalat memakai meriam, dan cekak karena tidak menghormati orang dewasa.
Bagi saya ini memprihatinkan, walaupun argumen seperti ini berasal dari kalangan yang tergolong moderat. Dari kalangan ekstrim, argumentasinya lebih mengerikan: “saya tidak mau kamu berbuat dosa”. Pemikiran semacam itu—semestinya—tidak punya tempat di Republik ini, walaupun faktanya iya. Negara kita memang menjunjung tinggi Agama, dan melindungi hak umatnya untuk beribadah (dalam prakteknya tidak demikian sih). Akan tetapi, negara tidak pernah diberi kedaulatan untuk melarang tindakan yang tidak menganggu publik.
Masyarakat memang perlu dilatih membedakan urusan di ruang publik dan di ruang pribadi. Mengakses pornografi di rumah sendiri adalah pribadi, tidak salah selama sudah cukup umur. Lari-lari telanjang di jalan itu salah, karena menganggu publik. Sebagai masyarakat paguyuban, kita masih sering bingung dan mencampur-campur keduanya, walaupun dua itu sebetulnya sudah cukup jelas.
Tapi tentu saja selalu ada yang mengungkit efek-efek samping dari apa yang diduga akibat pornografi, seperti misalnya pemerkosaan dan bayi dibuang. Kekhawatiran pemerkosaan meningkat tentu saja adalah kekhawatiran yang basi, karena berbagai negara tidak mengalami kenaikan (ataupun penurunan) tingkat kejahatan seksual setelah pornografi dilegalkan. Kasus bayi dibuang, sebetulnya ini adalah kesalahan masyarakat yang cenderung menghakimi negatif kehamilan di luar nikah. Memprihatinkan memang, karena kehamilan di luar nikah memang selalu ada dan masyarakat justru mempersulit mereka yang sedang mempersiapkan diri untuk itu. Sekali lagi, ini karena kita masih menganut “masalahmu adalah masalah kami”.
Yang jelas, dengan meningkatnya ekonomi, pendidikan, dan kesejahteraan—kita akan semakin toleran terhadap perbedaan dan menghargai ruang pribadi DAN ruang publik. Tentu saja faham “your problem is our problem” tidak akan pernah hilang, tetapi mereka akan menjadi minoritas.
Jadi sebetulnya masalah besar masyarakat kita adalah kebiasaan mencampur-campur ruang pribadi dengan publik. Isu besarnya itu. Pemblokiran pornografi cuma salah satu efeknya. Walaupun ini adalah masalah ideologis yang serius, tetapi pemblokiran bukanlah kiamat. Itu cuma masalah yang tidak penting. Jadi kenapa Menkominfo Tifatul Sembiring mengurusi masalah tidak penting?
sumber:http://hermansaksono.com/2010/08/pemblokiran-situs-porno.html
0 Komentar untuk "Pemblokiran Situs Porno"