Event Piala Dunia benarbenar telah memecahkan mitos ritualitas yang supersakral. Sebuah pusat berkumpulnya umat muslim di seluruh dunia, yakni di Masjidil Haram, terlihat pemandangan yang sangat ganjil.
Di tengah ribuan umat muslim menjalankan ibadah umrah, di sekitar Kakbah ada sejumlah jamaah yang lalu lalang mencari barisan untuk menjalankan salat mengenakan kaus atribut Argentina dengan nama pemain Maradona. Sebagian lain mengenakan kaus beratribut Messi (Lionel Messi), ada pula yang mengenakan kaus Brasil dengan nama bintang Kaka.
Sementara ribuan umat muslim lain yang sedang tawaf di sekitar Kakbah berjubah putih dan yang hanya menjalankan ibadah salat wajib ataupun sunah, minimal mengenakan baju koko dan berkopiah. Agak aneh bukan dengan pemandangan jamaah berkaus Maradona, Messi, dan Kaka yang juga tanpa berkopiah! Bukan itu saja, di channel televisi Arab, yang sebagian menayangkan siaran ibadah di Masjidil Haram, siaran dakwah, dan tilawatul quran (membaca Alquran) ternyata ada juga channel televisi Arab yang menayangkan siaran langsung pertandingan Piala Dunia 2010.
Yang juga surprise, komentatornya selain ada yang bersorban, ada pula artis yang berdandan seperti artis kita, selalu menggairahkan dan enak sekali dilihat. Apa yang mau kita komentari dari peristiwa ganjil di Arab ini, dengan tegas bahwa Piala Dunia telah menjelma menjadi sebuah kekuatan yang bisa bebas menembus ruang dan batas, meski sakral sekalipun.
Tak peduli itu Masjidil Haram, tak peduli itu di Tanah Suci, tak peduli itu di Nabawi (hampir semua channel menayangkan siaran bola) yang menjadi pusat makam Nabi Muhammad SAW untuk diziarahi umat muslim di seluruh dunia. Atribut-atribut Piala Dunia sudah menjadi kekuatan seperti halnya agama yang telah menjadi kekuatan yang bisa mendorong setiap umat muslim di seluruh dunia menembus lorong dan waktu untuk berkumpul di Masjidil Haram, untuk beribadah di depan Kakbah.
Kata orang Arab; ’’Subhanallah, Masyaallah’’, sebuah kata yang cepat diucapkan karena terheran-heran dengan setiap keajaiban. Bukan hanya di Arab, saat kepala negara dari 20 negara, termasuk Presiden kita Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berkumpul di event G-20 di Toronto, Kanada, pekan lalu, tak lepas dari ’’gangguan’’ Piala Dunia. Padahal G-20 adalah event dunia yang sangat penting. Sebab, seluruh kepala negara yang berkumpul ini sedang membahas rumusan pemulihan ekonomi global.
Namun, para kepala negara ini juga manusia biasa yang suka bola, sehingga keseriusannya di forum G-20 tetap tak bisa mengalahkan kesukaannya atas event Piala Dunia. Saat pertemuan jeda pun, kepala negara sekelas Barack Obama buruburu menonton pertandingan yang saat itu memainkan tim Amerika Serikat melawan Ghana. Kanselir Jerman Angela Merkel yang perempuan pun, bersama PM Inggris David Cameron, heboh menonton pertandingan Jerman melawan Inggris.
Bagaimana Presiden SBY, ikut heboh juga? Mohon maaf, Presiden kita tidak sampai heboh karena Indonesia tidak punya tim berkelas dunia. Jadi, tidak perlu harus heboh karena Presiden kita penampilannya selalu kalem. Presiden SBY hanya heboh di dalam hatinya karena memberikan dukungan dan meramal tim Argentina bakal juara. Namun, mohon maaf pula, ternyata tim Argentina yang diramal Presiden SBY juara ternyata kalah juga.
Mohon maaf kalau ramalan Presiden SBY meleset karena Indonesia memang tidak punya pengalaman di pentas Piala Dunia. Selain itu, mohon maaf juga kalau ramalan meleset karena Presiden SBY memang bukan peramal. Intinya, Piala Dunia telah menyihir semua pandangan mata untuk mengagumi bola yang bundar dan dimainkan oleh para manusia berkelas dunia. Indah memang menyaksikan permainan bola berkelas dunia.
Namun, di balik bola indah yang dimainkan untuk mencari kemenangan itu, tak lepas dari sifat manusia biasa. Ada yang ingin mencari kemenangan dengan cara yang indah dan fair, ada pula mencari kemenangan dengan cara keji, yakni mencederai, melukai, menelikung, dan menggunakan kebohongan-kebohongan.
Intinya satu; yang penting menang, meski dengan cara apa pun. Piala Dunia adalah sebuah personifikasi bola indah yang dimainkan berkelas dunia. Namun, pemainnya adalah manusia biasa, penontonnya juga manusia biasa; mereka bisa bersatu, mereka bisa bertengkar, tergantung kapan situasi dan kepentingannya.
sumber:http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/336212/
Next
« Prev Post
« Prev Post
Previous
Next Post »
Next Post »
0 Komentar untuk "Mekkah, G-20, dan Piala Dunia"