PENTINGNYA PENGERTIAN TENTANG BUDAYA DALAM
LINGKUNGAN OPERASI MILITER:
STUDI KASUS OPERATION IRAQI FREEDOM
Oleh : Dian Firmansyah (24008044)
Perubahan peta politik, hubungan internasional dan militer di dunia saat ini memungkinkan semakin besarnya kontribusi TNI dalam menjaga keamanan, bukan saja di level nasional namun juga regional dan internasional. Eskalasi peran TNI dalam lingkup regional dan internasional tersebut menuntut kesiapan TNI untuk dapat beroperasi di lingkungan yang memiliki karakterisitik yang berbeda dengan Indonesia, baik dari segi geografis, politik, dan social budaya. Hal ini tentu saja akan membutuhkan kesiapan adaptasi bagi TNI untuk dapat melakukan operasi dalam lingkungan operasi yang berbeda tersebut, termasuk kesiapan TNI untuk mengintegrasikan pendekatan budaya dalam operasi yang dilakukannya. Dalam paper ini, saya akan menjelaskan bagaimana pendekatan budaya dapat membantu kelangsungan suatu operasi militer dan sebaliknya, bagaimana ketidakpekaan terhadap budaya setempat dapat mengganggu pencapaian objektif, dengan melakukan studi kasus Operation Iraqi Freedom.
Terdapat beberapa alasan mengapa Operation Iraqi Freedom (OIF) menjadi bahan studi kasus yang menarik. Pertama, OIF merupakan contoh ekstrim dimana kekuatan militer dan teknologi terkuat di dunia mengalami kesulitan berlarut-larut dalam melakukan operasi stabilitasi pasca perang di Irak melawan gerakan insurgensi Irak. Kedua, OIF yang terjadi sejak 2003 hingga saat ini mencerminkan kenyataan dan perkembangan terbaru sehingga layak menjadi contoh aktual bagaimana pendekatan budaya dapat berpengaruh terhadap jalannya operasi di lapangan. Kedua alasan ini akan menemukan relevansinya dengan tugas TNI dalam melakukan operasi stabilisasi dan kontrainsurgensi, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di tugas-tugas international peacekeeping seperti di Libanon dan Kongo.
Operation Iraqi Freedom
Operation Iraqi Freedom (OIF) adalah nama operasi militer yang saat ini masih berlangsung dan dimulai sejak 20 Maret 2003 dengan invasi terhadap Irak oleh pasukan multinasional yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Inggris dan didukung oleh beberapa kontingen kecil dari Australia, Denmark, Polandia, Georgia dan beberapa negara lainnya.
Objektif OIF adalah, pertama, mengakhiri rezim Saddam Hussein. Kedua, untuk menemukan dan menghancurkan WMD milik Irak. Ketiga, menangkap dan mengusir teroris dari Irak. Keempat, mendapatkan intelligence tentang jaringan teroris. Kelima, mengumpulkan intelligence tentang jaringan WMD. Keenam, mengakhiri sanksi dan memberikan bantuan kemanusiaan kepada rakyat Irak. Ketujuh, mengamankan ladang minyak Irak. Kedelapan, membantu rakyat Irak menciptakan kondisi transisi bagi pemerintahan sendiri.
Tahap awal OIF berjalan relative cepat. Operasi militer besar (major operations) dinyatakan berakhir dua puluh enam hari sejak dimulainya OIF dan dilanjutkan dengan Fase IV (post war reconstruction) dalam bentuk operasi Stabilisasi & Rekonstruksi (S&R). Pada tahap ini dilakukan restrukturisasi politik, ekonomi dan social negara Irak pasca rezim Saddam, suatu proses panjang dimana sangatlah krusial untuk memenangkan “hearts and minds” dari rakyat Irak. Prasyarat keberhasilan operasi S&R adalah operasi kontra insurgensi (COIN) untuk menangani gerakan perlawanan Irak yang mulai aktif pada pertengahan 2003.
Lima tahun telah berlalu, namun pasukan multinasional di bawah pimpinan AS masih belum dapat menciptakan situasi keamanan yang kondusif. Opini publik rakyat Irak memandang AS tidak sebagai pembebas (liberator) tetapi sebagai penjajah. Pemerintahan baru Baghdad dipandang hanya sebagai sebuah pemerintahan boneka dan tidak lebih dari sebuah pemerintahan pusat yang lemah, tanpa otoritas yang kuat di luar Green Zone. Birokrasi pemerintahan sangat lemah, diwarnai dengan loyalitas yang lebih kuat pada basis sectarian daripada kepentingan nasional dan diperparah dengan korupsi besar-besaran. Konflik sectarian (Sunni-Syiah, Arab-Kurdi) merebak bahkan di beberapa kota telah merebak menjadi low intensity civil war antara komunitas Sunni dan Syiah. Alih-alih mengusir teroris dari Irak, kini pergolakan di Irak menjadi magnet bagi kaum militan untuk melakukan training, operasi dan propagandanya, yang membuat AS harus menguras sumber daya finansialnya, bahkan berhutang demi membiayai operasi militer lanjutan di Irak. Objektif politik untuk mendirikan negara Irak baru sebagai negara yang demokratis dan pro-AS yang akan menginspirasi demokratisasi negara-negara Arab bisa dikatakan telah gagal. Pendek kata, AS berhasil mencapai kemenangan taktis militer, tetapi kalah dalam level strategis.
Kesalahan langkah : Tataran Strategis
Banyak dari kesalahan langkah AS baik di level strategis, operasional dan taktis selama fase Post War Reconstruction di Irak berakar pada kurangnya pemahaman pada konstruksi sosio cultural rakyat Irak.
Langkah pertama yang dilakukan pasukan multinasional via CPA (Coalition Provisional Authority) – Pemerintahan Sementara Pasukan Koalisi) adalah memecat seluruh personil militer Irak (Iraqi Army), pegawai negeri dan kepolisian Irak serta mem’black list’ semua anggota partai Baath dari kemungkinan partisipasi politik dan birokrasi dalam Irak baru pasca Saddam.
AS menyamaratakan semua anggota partai Baath (Baathist) sebagai “pro-Saddam”. Ini merupakan kesalahan karena dalam masyarakat Irak, keikutsertaan birokrasi, angkatan bersenjata dan kepolisian dalam partai Baath (partai rejim Saddam) merupakan keharusan dan memperoleh penghidupan di instansi tersebut. Bagi rakyat kebanyakan, keanggotaan dalam partai Baath bahkan menjadi mekanisme bertahan hidup (survival mechanism) dan merupakan prasyarat untuk mengamankan kupon pembagian jatah makanan dari pemerintah rejim Saddam. Kultur demokrasi AS membuatnya buta terhadap kenyataan tersebut, yang sebenarnya merupakan salah satu karakteristrik generik rejim otoriter di manapun, sebagaimana wajibnya setiap personil birokrasi Soviet menjadi anggota dan pengurus partai Komunis Soviet. Langkah AS ini menyebabkan Irak tidak lagi memiliki pemerintahan yang bisa bekerja (functioning government) pasca langkah pemecatan tersebut, padahal pemerintahan ini adalah sebuah entitas yang sangat penting dalam memberikan kontinuitas layanan dan barang kepada publik (public goods & service) sebagai syarat stabilisasi dan rekonstruksi pasca perang.
Konsekuensi lain pemecatan besar-besaran itu adalah munculnya sekitar satu juta eks militer Irak yang tiba-tiba menjadi pengangguran dengan senjata dan keahlian militer. Hal ini tentu saja memberikan efek yang besar terhadap situasi keamanan di Irak. Gerakan perlawanan Irak (Iraqi Resistance) baik dari faksi nasionalis dan Islamis segera mengambil keuntungan dan menyerap eks militer Irak ini dalam perlawanan militer mereka terhadap pasukan koalisi. Hal ini menjelaskan mengapa gerakan perlawanan Irak bisa segera melakukan kampanye militer yang efektif terhadap pasukan koalisi hingga saat ini.
Hal lain yang menjadi konsekuensi lain dari langkah pemecatan eks militer dan pegawai negeri Irak ini adalah absennya birokrasi, militer dan polisi yang berada di atas semua suku dan golongan. Sekalipun terdiri atas golongan yang berbeda-beda (Arab Sunni, Arab Syiah, dan Kurdi), birokrasi, militer dan polisi Irak dalam rejim Saddam disatukan oleh ideology partai Baats. Ketika CPA kemudian melakukan rekrutment bagi posisi-posisi birokrasi, angkatan bersenjata dan polisi, maka posisi-posisi tersebut diisi oleh orang-orang dengan berbagai kepentingan yang menyebabkan birokrasi, militer dan polisi Irak baru lemah karena adanya konflik kepentingan dan loyalitas yang terbelah dalam sekat-sekat sectarian. AS juga menyamaratakan antipati terhadap Saddam (anti-saddamism) dan menganggapnya otomatis berarti sentiment pro-AS. Dengan mengakomodir semua kelompok anti-Saddam ke dalam pemerintah baru Irak (Iraqi Governing Council), AS memasukkan juga elemen-elemen yang tidak konstruktif terhadap kepentingan politik AS di Irak, bahkan menggunakan pemerintahan Irak yang baru sebagai kendaraan untuk kepentingan golongan mereka sendiri.
Masih di tataran strategis, ketidakpekaan AS terhadap konstruksi sosio kultural rakyat Irak juga menyebabkan AS gagal mengantisipasi transfer of polical power kepada para kepala suku di Irak. Ketika pemerintahan Irak telah lumpuh pasca pemecatan masif tersebut, pengaruh politik kembali ke bentuk yang paling stabil dan telah berakar berabad-abad di rakyat Irak, yaitu kepala suku. Sebagaimana dituturkan oleh seorang tokoh masyarakat Irak, “We follow the central government…. But of course if communications are cut between us and the center, all authority will revert to our sheik.” Dengan demikian, sikap politik rakyat Irak lebih ditentukan oleh sikap politik para kepala suku (syaikh). AS gagal mengantisipasi perkembangan ini dan kalah cepat dengan gerakan perlawanan Irak yang segera menjadikan pengaruh para kepala suku (syeikh) tulang punggung dukungan logistik, financial dan personilnya. Alhasil, pesatnya perkembangan insurgensi Irak merupakan hasil ketidakpekaan AS terhadap budaya masyarakat Irak.
Salah satu blunder lain adalah ketika pemerintah baru Irak pada bulan April 2004 secara sepihak menyetujui pergantian bendera Irak. Bendera Irak sejak tahun 1950-an berwarna merah, putih, hitam dan hijau dan menampilkan ideologi pan-arabisme lewat hubungan kultural dengan negara-negara arab lainnya (secara tradisional, banyak bendera negara-negara arab yang mengadopsi warna-warna tersebut dalam bendera nasionalnya). Bendera baru yang ditetapkan oleh pemerintah baru Irak menunjukkan warna dasar putih, dengan dua garis biru muda dan kuning emas dan pada bagian tengahnya dilengkapi lambang bulan sabit yang –tidak biasa dalam tradisi Islam- berwarna biru muda. Muncul penentangan dari sebagian rakyat Irak yang merasa bendera baru ini lebih serupa dengan bendera negara Israel (warna dasar putih, dengan lambing bintang daud berwarna biru muda dan garis di bagian atas dan bawah berwarna biru muda) daripada bendera negara-negara arab lainnya, dan mencabut identitas arab dari bendera nasional Irak. Sekalipun kemudian penggantian bendera ini dibatalkan, langkah ini makin mengukuhkan persepsi rakyat Irak bahwa pemerintahan Irak baru hanyalah pemerintahan boneka yang disetir oleh kepentingan AS dan Israel.
Bendera Irak masa Saddam, bendera baru dan bendera Israel
Tataran Operasional
Pada tataran operasional, kesalahpahaman pada budaya penyampaian informasi dalam masyarakat Irak menyebabkan AS kalah dalam pembentukan opini public. Pemerintah AS melakukan membantu mendirikan stasiun televisi yang pro-AS dan bahkan melangkah lebih jauh hingga membayar para jurnalis untuk mengarang berita positif tentang militer AS dan pemerintah Irak baru pada majalah-majalah dan surat kabar di Irak untuk membentuk persepsi positif di kalangan rakyat Irak. Militer AS juga melakukan penyadapan dalam komunikasi telepon untuk mendapatkan data intelijen akan gerakan perlawanan Irak. Langkah-langkah ini ternyata salah sasaran.
Salah satu personil marinir AS menuturkan, “Kami fokuskan upaya kami pada broadcast media (televisi, radio, surat kabar). Tapi hal ini tidak berguna, karena orang-orang Irak mendapat dan menyalurkan informasi lewat obrolan lisan dalam pertemuan-pertemuan. Seharusnya, kami lebih sering nongkrong di kedai-kedai kopi (dan mendengarkan pembicaraan mereka).” Sayangnya, aturan perlindungan personil militer AS menyebabkan para prajurit tidak dapat mengunjungi kedai-kedai kopi atau berbelanja di pasar-pasar tradisional, sehingga tidak berhasil membangun hubungan personal dengan rakyat Irak, yang sebenarnya merupakan kunci untuk mendapatkan data intelijen dan mengambil hati rakyat Irak (winning hearts and minds).
Penggunaan alat perlindungan, seperti rompi antipeluru dan helm menciptakan jarak psikologis dalam interaksi
Sebaliknya, CPA merasa bahwa seruan-seruan retoris anti-koalisi dan anti-Amerika dalam surat kabar-surat kabar Irak sebagai ancaman keamanan dan kemudian melakukan pembredelan serangkaian surat kabar tersebut. Hal ini menyuburkan persepsi rakyat Irak bahwa AS tidak benar-benar membela “Freedom of Speech” sebagaimana sering diklaim AS dan memperkuat pandangan mereka bahwa orang-orang AS adalah munafik.
Penelanjangan Tawanan
Penelanjangan Tawanan
Opini negatif terhadap pasukan AS juga dipicu oleh perbedaan akan budaya ketelanjangan (nuditas). Dalam kultur Arab dan Islam, penelanjangan adalah sebuah penghinaan yang sangat besar dan mengakibatkan kebencian yang mendarah daging. Di lain pihak, budaya Barat yang liberal menunjukkan toleransi yang lebih besar terhadap nuditas ini. Karenanya militer AS tak jarang melakukan penelanjangan pada para tawanan, terutama dalam konteks untuk meruntuhkan mental para tawanan. Ketika hal ini kemudian bocor ke publik Irak, dalam kasus Abu Ghuraib misalnya, modus penelanjangan ini sangat membuat rakyat Irak sakit hati, membenci pasukan AS dan mementahkan hasil proses panjang untuk memenangkan hati rakyat Irak.
Tataran Taktis
Di tataran taktis, ketidakpahaman akan budaya masyarakat setempat akan dapat membahayakan keselamatan rakyat sipil dan pasukan yang bertugas. Gaya bicara rakyat Irak (dan Arab) yang keras dan nyaris berteriak dibarengi dengan gerakan tangan yang cepat dan bahasa tubuh yang cenderung mendekati lawan bicara diartikan oleh para prajurit di lapangan sebagai sikap yang bermusuhan dan agresif. Hal ini sangat berbahaya, terlebih bila para prajurit tersebut gugup dan merasa terancam.
Ketidakpahaman terhadap simbol-simbol juga bisa menyebabkan terjadinya konflik yang tidak perlu. Dalam budaya Barat, bendera putih dipahami sebagai sifat netral atau menyerah. Warna hitam, sebagai antithesis dari warna putih, adalah lawan dari sifat netral atau menyerah, bahkan diartikan sebagai ‘a big sign that said shoot here!’, demikian penuturan seorang prajurit AS. Ironisnya, banyak rumah-rumah kaum Syiah di Irak yang mengibarkan bendera hitam, yang merupakan simbol tradisional preferensi relijius mereka dan akibatnya mengundang tembakan dari tentara AS.
Bendera Hitam Warga Syiah
Dalam salah satu insiden yang tercatat pada tahun 2003, seorang tentara AS menendang sebuah bendera hitam kaum Shiah yang berkibar di atas sebuah bangunan di kawasan warga Syiah Baghdad. Tak lama setelah itu, gelombang unjuk rasa dan sentimen anti-AS yang terburuk sejak jatuhnya kota Baghdad merebak di kalangan warga Syiah Baghdad, dimana bentrokan menyebabkan satu orang warga Irak meninggal.
Ketidakpekaan terhadap budaya masyarakat setempat juga ditampilkan dalam pemeriksaan di pos-pos jalanan oleh pasukan AS. Dalam kultur barat, pemeriksaan tubuh oleh lawan jenis dipandang netral, sementara dalam masyarakat Arab, sentuhan tubuh dengan lawan jenis adalah suatu hal yang sangat ditabukan dan bahkan bisa diartikan sebagai penghinaan yang tak jarang berujung pada duel maut. Bagi para lelaki Irak, membiarkan tubuhnya disentuh oleh para tentara wanita sama saja sebuah penghinaan, apalagi hal itu dilakukan di depan umum.
Body Search
Hal yang sama terjadi ketika mereka melihat para wanita Irak disentuh tubuhnya oleh tentara AS yang berjenis kelamin laki-laki. Dendam dan ketegangan yang tidak perlu dan sering berakibat fatal tersebut akhirnya muncul. Sekiranya ada kepekaan budaya setempat, hal ini tentu dapat dihindari.
Dengan cadar = berpakaian, tanpa cadar = telanjang. Perbedaan budaya.
Kasus lainnya, masih berhubungan dengan pengaruh budaya Arab dan Irak dalam hubungan laki-laki – perempuan, adalah pelaksanaan razia ke rumah-rumah warga Irak. Praktek razia pasukan AS ke rumah-rumah warga Irak seringkali menyebabkan tereksposnya bagian kepala dan rambut wanita Irak yang biasanya tertutup jilbab dan cadar, di hadapan laki-laki non mahram (ajnabi). Hal ini sangat ditabukan dalam budaya masyarakat Arab dan Irak, dimana para wanita Irak yang terlihat kepala dan rambutnya seperti ini, akan merasa sangat malu bagaikan ditelanjangi.
Beberapa hal lainnya, seperti perbedaan penafsiran bahasa tubuh (stop, jalan), juga praktek penangkapan “terrorist suspect” juga mengakibatkan antipati kepada tentara AS dan koalisi.
Praktek Penangkapan Tersangka : posisi sujud
Pada saat menangkap seseorang, personil militer AS sering menundukkan orang tersebut dalam posisi yang menyerupai posisi sujud, suatu posisi yang dalam doktrin Islam merupakan puncak penyerahan diri dan penyembahan kepada Allah. Karena itu budaya Islam melarang seorang muslim bersujud kepada selain Allah. Ketika hal ini dilakukan pasukan AS kepada orang yang ditangkapnya, maka timbul kesan seakan-akan prajurit tersebut berlaku sebagai Tuhan dari orang yang ditangkapnya. Hal ini mengakibatkan timbulnya kebencian terhadap tentara AS, bukan saja pada hati orang yang ditangkap, tetapi juga kepada para pejalan kaki yang melihat peristiwa tersebut.
Semua kesalahan yang timbul akibat kekurangan pendekatan budaya di level taktis, operasional dan strategis pada akhirnya berkontribusi terhadap situasi politik, ekonomi, sosial, dan keamanan yang menyebabkan berlarut-larutnya konflik di Irak.
Kesimpulan
Meskipun AS dan pasukan koalisi memiliki keunggulan militer dan teknologi, OIF menunjukkan bahwa pendekatan budaya dalam memandang suatu permasalahan masih relevan, masih diperlukan, bahkan menjadi salah satu factor determinan dalam keberhasilan suatu operasi militer. Terlebih lagi dalam operasi stabilisasi dan rekonstruksi (S&R) dan kontra insurgensi (COIN), pengertian mendalam tentang kepentingan, kebiasaan, keinginan, kepercayaan, organisasi social dan simbol politis, atau dengan kata lain, budaya masyarakat setempat, sangatlah diperlukan untuk mendapatkan dukungan dari populasi setempat,. Pengertian tentang budaya ini juga harus tampak dalam level strategis, operasional dan taktis di lapangan.
“It is imperative that leaders understand culture at the strategic, operational and tactical levels. Misunderstanding culture at the strategic level can produce policies that exacerbate an insurgency; a lack of cultural knowledge at an operational level can lead to negative public opinion; and ignorance of the culture at a tactical level endangers both civilians and troops.” (Montgomery Mc. Fate)
Sebagai entitas militer yang memiliki keterbatasan dalam kekuatan dan teknologi, TNI kiranya dapat untuk mengambil pelajaran dari OIF ini dan terus-menerus mengintegrasikan pendekatan budaya di dalam operasi-operasinya dengan melakukan pembenahan-pembenahan yang diperlukan.
Bandung, 3 Desember 2008.
Dian Firmansyah
DAFTAR PUSTAKA
1. 1. McFate, Montgomery, “The Military Utility of Understanding Adversary Culture,” Joint Forces Quarterly, no. 38, (Washington D.C.: National Defense University Press, 2005) 43-44.
2. 2. Arcuri, Anthoy P. (US Army Colonel), “The Importance of Cross Cultural Awareness for Today’s Operational Environment,” US Army War College, March 2007.
3. 3. Record, Jeffry, “Cultural Barrier to Successful Counter Insurgency,”Policy Analysis Series, September 2006.
4. 4. “Iraq Unveils New Inclusive Flag“ BBC News, 27 April2004.
5. 5. “Flag Is Flash Point In A Baghdad Slum: Perceived Insult Ignites Anti-U.S. Unrest”, The Washington Post, 14 Agustus 2003.
6. 6. Global Security.Org
http://www.globalsecurity.org/military/ops/iraqi_freedom.htm
0 Komentar untuk "Jangan anggap enteng budaya setempat!"