cerita : dari senyum windya
Bismillahirrahmaanirrahiim
Hampir 2 minggu hiatus dari blogging, namun tidak berarti itu pertanda aku berhenti menulis, walau hanya sekedar niat. Tapi berhubung alat menulisku seperangkat komputer manual yang tidak mobile, maka niat menulis itu harus menunggu kesempatanku muncul kembali.
Ya, selama hampir dua minggu itu hari-hariku dipenuhi scene kehidupan yang cukup menguras waktu, tenaga dan fikiranku. Namun hikmahnya, waktu,tenaga dan fikiran yang terkuras banyak itu menyisakan intisari yang berharga dalam kesadaranku. Kesadaranku akan kefakiran diri, kefakiran semua makhluk Tuhan.
Menyaksikan anak yang dikandung,dilahirkan dan diasuh dibesarkan; menderita saat dibalut penyakit adalah suatu kepayahan besar untuk seorang ibu.
Rahma, selama sekitar 7 hari anak bungsuku yang masih berusia 2 tahun itu demam tinggi. Selama itu pula ia tak mau lepas dari gendonganku siang dan malam, kecuali jika ia benar-benar kelelahan dan tertidur. Namun selama mendapat demam, tidurnya tak pernah bisa nyenyak dan lama. Baru terlelap satu jam, ia akan terbangun lagi dan menangis mencari umynya ini untuk dipeluk dan digendong, mencari kenyamanan dari penyakitnya, walau hal itu tak bisa ia temukan jika panasnya tak juga reda.
Selama satu minggu itu merasakan perubahan suhu dibadan buah hatiku adalah kekhawatiran dan kesedihan. Aku tahu putriku kelelahan juga dan menginginkan istirahat yang cukup walau itu tak ia mengerti. Semua itu membuat kemurungan dalam hari-hariku. Sedang kakaknya Rahma juga membutuhkan perhatianku. Suatu dilema yang tentu dirasakan orang tua lain juga. Tetapi aku bersyukur masih diberi bisa bahagia melihat anakku yang lain sehat dan ceria.
Sehabis satu minggu itu ditemani naik turunnya suhu badan Rahma, kami meningkatkan upaya dengan memeriksakan darahnya ke sebuah laboratorium di kota kami. Disana kepedihan hatiku bertambah lagi, menyaksikan pembuluh bayiku ditusuk jarum yang berulang-ulang karena Rahma berontak dan menangis menyebabkan jarumnya terlepas lagi. Hatiku menangis mendengar jeritannya, namun tak ada jalan lain untuk mengetahui penyebab demamnya, akhirnya dijalani juga.
Hasil pemeriksaan darah di laboratorium menggembirakanku sesaat, test DBD dan widal untuk penyakit thypusnya negatif. Namun HBnya kurang dan LED (Laju Endap Darah)nya sangat tinggi menandakan ada infeksi di tubuhnya. Dengan berbekal hasil lab itulah kami memutuskan membawa Rahma ke Rumah Sakit. Disana dokter juga merekomendasikan agar Rahma dirawat karena sudah terlalu lama panasnya tidak turun.
Disanalah kegetiranku muncul kembali satu persatu. Dimulai dengan keharusan untuk Rahma mendapat suntikan infus. Hati menangis lagi, saat mataku melihat mimik ketakutannya, saat telingaku mendengar jeritannya dan saat tanganku merasakan berontak tangannya. Menusukkan jarum infus ke tangan anak kecil bukanlah hal yang mudah nampaknya, apalagi anak kecil yang ketakutan dan berontak keras. Berulang kali jarum itu berhasil merobek pembuluh anakku, namun berulangkali gagal menancap dengan benar menyebabkan harus terjadi penusukkan yang berulang kali lagi. Subhanallah....betapa tak berdayanya aku menerima hal ini.
"Penyiksaan" Tindakan medis itu kembali terjadi di ruangan rawat, saat anakku harus kembali menjalani serangkaian tes darah plus tes manthoux. Rabby, aku ingat saat itu melihat anakku bagai melihat seorang ibu hendak melahirkan. Tubuhnya menggeliat, wajahnya mencerminkan kesakitan luar biasa. Dalam waktu yang sama sejenak setelah dibangunkan dari tidurnya, perawat menggunakan jarum untuk mengambil darahnya untuk keperluan test Salmonella, dan dengan jarum lainnya perawat menusuk dan mengangkat kulitnya untuk uji manthoux.
Ya Allah...
Aku bukan ibu luar biasa, yang tegar menyaksikan anakku menderita. Aku bukan ibu luar biasa yang tak akan pilu mendengar teriak kesakitan mutiara kecilku. Aku juga bukan ibu yang hebat tanpa rasa lelah, kantuk dan penat. Namun aku ibu yang merasa masih diberikan Allah kekuatan untuk bisa selalu menemani dan memeluk buah hatiku didalam gelombang derita fisik dan psikisnya. Cinta yang Allah siramkan kepadaku baginya mengokohkan tekadku untuk selalu berada bersamanya.
Bersyukur tak terhingga saat masa-masa itu berlalu sedikit demi sedikit. Perlahan, suhu tubuhnya mendekati normal, semakin lama semakin baik hingga normal sama sekali. Walau dengan jarum infus tetap menancap di tangannya, kutemukan lagi keceriaannya, kelucuannya, kepintarannya. Rahmaku sangat antusias saat disodorkan kepadanya sebuah buku dan ballpoint untuk menggambar, sesuatu yang sangat digemarinya di rumah.
Ya Allah...
Aku bukan ibu luar biasa yang tak meleleh menyaksikan Rahmaku kembali tersenyum dan mengajakku bercanda. Aku juga bukan ibu yang hebat yang bisa terus mensyukuri walau penderitaan tengah mendera anak-anakku. Aku bukan ibu luar biasa yang tak terlonjak senang saat mendengar hasil semua tes darah untuk DBD, Thypus dan Mantouxnya seluruhnya negatif. Aku juga bukan ibu luar biasa yang tak bahagia melihat jarum infus itu akhirnya dilepas dari tangan mungilnya.
Aku hanya ibu biasa yang mengharapkan segala sesuatunya "baik-baik saja" untuk anak-anaknya, melihat mereka sehat, tersenyum dan bahagia.
Ya Allah...
Aku bukan ibu luar biasa, tetapi aku ingin menjadi ibu yang dapat mengantarkan anak-anakku sampai kepada MU dan menghisap keridhoanMU di syurgaMU. Untuk itu, aku akan berusaha menjadi ibu yang seperti anak-anakku harapkan, yaitu Ibu yang luar biasa yang dapat bersama-sama mereka saling menjaga dalam lautan dinamika kehidupan ini, saling mengingatkan saat kekhilafan, saling mendukung dalam kebaikan dan kebenaran, saling mendo'akan dalam kasih sayang Tuhan semesta alam.
Aku ingin menjadi Ibu yang luar biasa (setidaknya bagi mereka).
Allahumma amiin
Saat tanda-tanda baik itu diperlihatkan dan Allah menghadiahkan kebahagiaan di hatiku
sumber:http://senyumwindya.blogspot.com/2010/07/bukan-ibu-luar-biasa.html
0 Komentar untuk "Bukan Ibu Luar Biasa"