Otak rakyat kecil di Indonesia sejak beberapa tahun belakangan ini diaduk-aduk berbagai masalah. Baik masalah menyangkut diri mereka yang dihimpit kesulitan hidup, juga problematk yang ditimbulkan para elit menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara. Sisi-sisi kehidupan seakan terbalik dimana baik- buruk, salah-benar, demikian pula wajar-tidak wajar, sangat sulit mereka bedakan. Di tengah-tengah gonjang-ganjing itu, tiba-tiba datang pengumumkan kenaikan tarif dasar listrik dari pejabat berwenang, juga dengan alasan yang sulit mereka mengerti.
''Tadinya stresku sempat hilang karena ikut ngintip video ikhwal Adam dan Hawa menikmati buah quldi, yang diputar anak-anak muda di HP mereka. Dari layar kaca juga kusaksikan berita santer tentang itu yang diberi judul video mesum selebriti, diikuti debat berbuih-buih beberapa orang yang mengaku pakar. Konon ada pakar hukum, pakar teknologi informasi atau sibernetika, sosiolog, psikolog bahkan agamawan. Karena bahasa yang mereka gunakan, konon beda dengan bahasa rakyat seperti aku, maka segala ujaran mereka kuabaikan, malah volume suara TV kukecilkan. Mereka tampak lucu, mirip nonton filem bisu produk tahun 1950an dengan aktor Charlie Chaplin. Aku jadi tertawa. Daripada mendengar suara mereka aku malah bingung, seperti mengikuti berita tentang suap, korupsi, kecurangan pemilu/pemilukada, yang berakhir tanpa ujung pangkal alias sing ada apa De! Namun, tiba-tiba stresku kambuh mendengar berita kenaikan TDL,'' tutur Kandia.
''Benar, pemahaman bahasa kok dibeda-bedakan ya? Aku khawatir, slogan satu nusa satu bangsa satu bahasa berkonotasi jadi, satu bangsa saling memangsa hingga binasa. Aku juga tidak paham mendengar mereka yang mengaku pakar itu berdebat, khususnya di TV. Dalam argumentasi atau membela diri saat disanggah, mereka selalu berkata setengah berteriak dengan wajah tegang, ini bahasa hukum! Karena terlalu sering mendengar ucapan itu, aku bertanya dalam hati, apa bahasa hukum berbeda dengan bahasa lainnya, terutama bahasa rakyat? Padahal hampir semua kosa kata yang mereka lontarkan, kecuali sedikit istilah sisa zaman kolonial, adalah Bahasa Indonesia. Jangan-jangan spesifikasi bahasa dijadikan pabrik fatamorgana, yang membuat masyarakat awam jadi bingung, dimana kepala harus disebut kaki atau sebaliknya. Karena itulah aku curiga dan terkejut mendengar para wakil rakyat menuntut Dana Aspirasi yang jumlahnya belasan miliar rupiah per orang. Aspirasi siapa,'' tanya Sumadi.
''Hahaha, maksudnya aspirin kaleee? Obat sakit kepala atau demam yang banyak diidap orang saat ini akibat perubahan iklim yang radikal! Kalau di Kamus Umum Bahasa Indonesia, aspirasi berarti gairah atau keinginan atau harapan yang keras. Lalu, siapa berkeinginan dan bergairah keras? Coba simak pengalaman! Ketika distribusi beras buat rakyat miskin yang disingkat raskin, juga bantuan langsung tunai (BLT) sebagai kompensasi kenaikan bahan bakar minyak (BBM) sebanyak tiga kali di tahun 2004/2005. Nah, ketika usulan Dana Aspirasi ini dikritisi berbagai pihak, kemudian istilahnya diubah jadi Dana Percepatan dan Pemerataan Pembangunan Daerah. Celakanya seakan tidak mau kalah dengan DPR, DPD juga menuntut hal serupa yang diberi nama Agenda Program Percepatan dan Pemerataan Pembangunan Daerah. Entah ada korelasinya dengan tuntutan itu, Komisi VII DPR-RI dalam rapat kerja dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Darwin Z. Saleh pada 15 Juni lalu, menyetujui kenaikan TDL. Wah, negeri ini sepertinya milik segelintir orang saja,'' keluh Manik.
''Mendengar paparanmu, plesetanmu tentang aspirin tadi, tidak begitu keliru, Nik! Di samping cuaca kian tak menentu, kondisi negara akibat perilaku para elit yang tidak karuan, juga menyebabkan kebanyakan rakyat yang hidupnya pas-pasan tambah pusing. Puyeng secara fisik dan pusing secara mental! Apalagi di bulan Juli ini, para orang tua dipusingkan dengan tahun ajaran baru putera-puteri mereka, baik yang naik kelas maupun kenaikan jenjang, yang memerlukan banyak biaya. Kalau kenaikan BBM dulu ada kebijakan BLT yang dibaca sesuai hakikatnya oleh rakyat, bantuan langsung telah. Malah setelah beberapa kali dibagi lalu dihentikan, kemudian jadi bantuan langsung tutup! Kini ada kebijakan setali tiga uang terkait kenaikan TDL, dimana pelanggan listrik berdaya 450 VA dan 900 VA, tarifnya tidak dinaikkan. Mentang-mentang rakyat Indonesia diberi julukan masyarakat hiburan, penjelasan sederhana itu lebih bersifat menghibur sekaligus pembodohan! Apakah mereka yang tidak mengalami kenaikan TDL, akan diungsikan ke pulau terpencil yang kehidupannya luput dari pengaruh warga bangsa yang lain? Cuma anak-anak kecil yang cocok dikibuli seperti itu,'' ujar Kasna.
''Nah, penjelasan itu adalah bahasa ekonomi dan politik, beda dengan bahasamu dan bahasaku! Coba dengar, aku baca puisi Ted Perry! Inilah yang kita tahu. Segala benda itu menyatu. Seperti hubungan darah. Mengikat seluruh keluarga. Yang terjadi pada bumi. Terjadi juga pada semua penghuni. Manusia tidak merajut jaring kehidupan. Ia hanyalah secarik benang yang ada padanya. Apapun yang ia lakukan pada jaring itu. Akan mengena pada dirinya sendiri. Apa kira-kira bahasa Ted Perry ini tidak sama dengan bahasa ekonomi, politik dan hukum di Indonesia? Kalau beda, ada aphorisme dalam fisika ikhwal teori kheos bahwa kepak sayap ribuan kupu-kupu di pegunungan Meksiko bisa menyebabkan terjadinya badai dahsyat di Antartika. Bila puisi Ted Perry dan Teori Kheos yang kuuraikan tadi dipahami para penentu kebijakan di republik ini, kukira, penjelasan menghibur yang seakan mengatakan bahwa kenaikan TDL tidak berpengaruh pada rakyat kecil, tidak akan terlontar,'' papar Rubag.
''Pengalaman atas kenaikan berkali-kali BBM membuktikan terjadinya kemerosotan kualitas hidup. Soal nasi aking, gaplek dan beras berkualitas rendah yang jadi konsumsi sebagian besar rakyat adalah bukti telanjang. Tewasnya puluhan orang akibat terhimpit dan tergencet dalam pembagian zakat yang kalau dihitung bernominal tidak lebih dari Rp 20 ribu per orang merupakan contoh yang lain. Kawanku yang seorang pramuwisata mempunyai cerita tentang degradasi kualitas hidup. Sebelum tahun 2004, dia bersama istri dan empat anaknya bisa hidup layak di sebuah rumah berluas 1,5 are, meski hanya dia yang mencari nafkah. Namun kini, walau istri dan anak tertuanya ikut bekerja, kehidupannya jadi morat-marit, padahal tanah dan bangunan yang dibelinya dengan susah payah sudah terjual. Paradoks dengan slogan perubahan yang digembar-gemborkan sebuah parpol! Keluarganya yang dulu bisa makan, kini berubah jadi sulit makan. Sekarang dia dan keluarganya menyewa rumah kos-kosan berharap, tuan rumahnya tidak menaikkan sewa kamar,'' ulas Karsana.
''Kalau dipikir-pikir, yang disebut anarkhisme tidak selalu berarti kekerasan dan pengerusakan secara fisik. Kehidupan yang layak sesuai bunyi konstitusi, yang dirusak berbagai kebijakan yang justru bertentangan dengan aspirasi rakyat, juga anarkhisme yang berdampak lebih kejam. Bahkan dalam jangka panjang, kalau tidak mati karena kelaparan, bisa jadi sakit-sakitan akibat kekurangan gizi dan kehilangan kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang memadai, serta jadi miskin secara struktural. Pembuat kebijakan, bagiku, malah lebih mesum dari aktor video porno yang kutonton. Sebab, mereka membuat keputusan tanpa rasa malu atas teriakan rakyat, yang justru mendudukkan mereka di kursi-kursi terhormat. Bukankah kemesuman atau kepornoan diukur dari rasa malu yang hilang untuk memperlihatkan kemaluan? Coba camkan dan renungkan dalam-dalam ucapanku, jangan keburu menyanggah,'' tegas Kandia.
sumber :http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailrubrik&kid=1&id=3956
0 Komentar untuk "Anarkhisme Dan Mesum"