Mendengar nama Alas Purwo, selalu terbayang sebagai kawasan angker, wingit, bahkan medeni. Itu karena Alas Purwo memang dikenal sebagai hutan hujan paling alami di Indonesia, bahkan mungkin Asia. Di situ juga terdapat beberapa tempat yang dianggap kramat, sakral, dan menyimpan daya magis tinggi. Seperti di goa Istana, goa Padepokan, goa Mayangkoro. Konon, di tempat tersebut presiden pertama RI, Ir Soekarno, pernah bertapa.
Apalagi, saat memasuki kawasan tersebut, pengunjung akan dikejutkan dengan tulisan berbahasa Indonesia; Alam itu pasrah kepadamu. Sebuah pesan yang bermakna sangat mendalam. Bahwa, kerusakan alam lebih disebabkan ulah tangan manusia. Mitos yang hingga kini masih berkembang di masyarakat; siapapun yang mengambil tumbuhan atau hewan di Alas Purwo, akan berakibat fatal di kemudian hari. Mungkin karena itu, di resort Rowobendo, pintu masuk ke Alas Purwo, tertulis pesan; Jangan tinggalkan apapun, kecuali telapak kaki. Dan jangan mengambil apapun, kecuali foto.
Sejatinya, pesan tersebut bukan karena anggapan Alas Purwo masih angker. Namun lebih untuk menjaga kelestarian hutan yang ditetapkan sebagai Taman Nasional pada awal 1990-an itu. Selain wisata religius, Alas Purwo sendiri sebetulnya menyimpan ragam obyek wisata menarik. Tak cuma pepohonan rindang yang berumur ratusan tahun dengan hewan-hewan langka yang dapat dijumpai di sepanjang perjalanan, juga terhampar puluhan kilometer pantai berpasir putih bersih. Cerita-cerita kuno yang ada di komik dan film-film tentang orang-orang yang melepas kehidupan duniawi, juga dapat dijumpai di hutan seluas 43.420 ha itu.
Ada dua alternatif rute untuk mencapai kawasan ini. Pertama dari arah Banyuwangi ke Kalipahit lewat Muncar. Jaraknya sekitar 59 km. Atau kira-kira 120 menit perjalanan kendaraan bermotor. Dari Kalipait menuju Pasaranyar (3 km), kemudian ke pos Rowobendo (10 km). Rute kedua dari Jember menuju Benculuk (80 km), kemudian langsung ke Kalipait (20 km). Biasanya, setelah beristirahat sejenak di pos Rowobendo, pengunjung melanjutkan perjalanan ke tempat-tempat wisata yang ada di dalam taman nasional.
Jika lebih dulu pergi ke arah Trianggulasi, Pancur, Sadengan, atau Plengkung, di samping kiri kendaraan akan terlihat bangunan mirip candi di Jawa Tengah. Itu adalah Pura Luhur Giri Salaka. Tempat peribadatan umat Hindu Bali dan Banyuwangi untuk merayakan upacara Pagerwesi setiap 210 hari sekali. Masyarakat yang tinggal di sekitar Alas Purwo ini mayoritas berasal dari Jawa Tradisional. Mereka adalah pendatang dari Jawa (Mataraman). Karena itu, tradisi kejawen seperti yang kerap dilakukan umat Hindu, yakni bertapa atau bersemedi, masih sering dilakukan masyarakat di sini. Pada hari-hari tertentu seperti malam 1 Suro, bulan purnama, atau bulan mati, masyarakat Hindu Bali dan ahli kebatinan Jawa sengaja datang ke taman nasional ini untuk meditasi atau melaksanakan upacara religius.
Berkunjung ke Alas Purwo memang kurang lengkap jika hanya 'menikmati' sisi mistiknya saja. Tetapi juga harus menyempatkan diri pergi ke tempat-tempat seperti Bedul. Bedul yang tak lain segoro anakan ini sangat potensial dikembangkan sebagai kawasan wisata bahari. Kawasan ini didukung hutan mangrove yang masih utuh sebagai breeding area dan nesting area beberapa jenis burung air (bangau tong tong, pecuk ular, trinil, raja udang, pelikan trinil, dll). Selain itu, Bedul juga menjadi salah satu tempat yang digunakan masyarakat sekitar untuk mencari kerang, udang, kepiting, dan ikan. Penangkapan yang dilakukan dengan alat-alat tradisional, terkadang justru menjadi daya tarik sebagai salah satu atraksi wisata Bedul.
Puas di Bedul, sebaiknya kembali lagi ke Rowobendo, lalu putar kanan ke arah Sadengan. Jaraknya kira-kira 2,5 km atau 15 menit kendaraan bermotor. Di tempat penggembalaan buatan seluas 80 ha ini, terdapat menara pengintai atau watching tower. Dari situ, bisa dilihat aneka satwa liar seperti banteng, kijang, rusa, kancil, dan babi hutan, bahkan sesekali terlihat burung merak. Dari atas ketinggian watching tower yang terbuat dari kayu itu, wisatawan bisa menikmati atraksi beragam hewan yang sedang merumput.
Menurut Plt KTU TN Alas Puro, Dwi Ariyanto SH, pengamatan aneka satwa paling baik adalah antara pukul 06.00 sampai 09.00 di pagi hari, atau pukul 10.00 hingga 18.00 di sore hari. ''Kalau siang hari biasanya akan masuk ke hutan. Mencari tempat yang lebih teduh,'' ujarnya.
Diantara sekian banyak tempat-tempat wisata di Alas Puwo ini, hanya satu tempat yang paling dikenal turis manca negara. Kawasan itu adalah Plengkung atau lebih dikenal para bule dengan sebutan G-Land. Hutan pantai ini sudah lama menjadi surga bagi peselancar profesional mancanegara. Ombaknya yang sangat besar, menjadi pantai ini sering mendapat julukan fantastis yang diberikan oleh para peselancar dunia. Para penggila gulungan ombak asal Jepang, misalnya menjuluki pantai ini The Seven Giant Wave Wonder. Karena kerap ditemui ombak raksasa datang susul menyusul sebanyak tujuh lapis.
Sebutan itu sebenarnya tidak terlalu berlebihan. Sebab, panjang gelombang di pantai ini mencapai dua km dengan tinggi empat sampai enam meter dalam interval lima menit. Oleh karena itu, kerap digunakan sebagai lokasi kompetisi surving internasional. Menurut petugas Taman Nasional Alas Purwo, selain di Plengkung, cuma Hawaii, Australia, dan Afrika Selatan saja yang memiliki ombak dasyat seperti itu. ''Ombak di Plengkung ini nomor dua setelah Hawaii,'' kata Dwi. Hawaii tetap menjadi nomor satu karena ombaknya terjadi terus menerus sepanjang tahun. ''Puncak ombak di Plengkung hanya pada bulan-bulan tertentu. Antara April hingga Agustus,'' tambah pria yang menyukai fotografi dan desain grafis itu.
Peselancar dari Amerika menyebut Plengkung sebagai G-Land. Ada yang mengatakan, G-Land ini singkatan dari pelabuhan Grajagan. Pelabuhan ini merupakan tempat berlabuhnya kapal-kapal yang dipakai para turis untuk mencapai Plengkung. Sebutan G-land juga berarti karena Plengkung yang berada di Teluk Grajagan menyerupai huruf G. Atau bisa juga diartikan karena letak Plengkung berada tidak jauh dari hamparan hutan hujan tropis yang terlihat selalu hijau atau Green Land.
Tingginya ombak di Plengkung ini memang sangat berbahaya bagi peselancar pemula. Namun, mereka tak perlu cemas. Pemandangan alam kawasan ini memang sangat eksotik. Hamparan pantai berpasir putih yang diselimuti kawasan hutan yang masih alami, jauh dari kebisingan kawasan perkotaan, tak ada sinyal handphone, tak ada lalu lalang kendaraan, tak ada PKL, dan tak terjangkau jaringan televisi, menjadikannya tempat ini sebagai kawasan paling ideal untuk 'sembunyi' dari peradaban. Tak heran, di kawasan ini sering menjadi tempat pelarian penjahat kelas kakap dunia. ''Dulu, sekitar akhir 1990-an, ada penjahat dari Amerika ditangkap. Pengakuanya, dia sudah berada di Alas Purwo sejak pertengahan 1980-an,'' ujar Dwi, yang juga salah seorang penyusun buku Informasi Balai Taman Nasional Alas Purwo itu.
Karena itu, pihaknya kini lebih selektif dalam menerima tamu. ''Selain identitasnya kami data secara rinci, wisatawan yang datang kemari juga kami tanyakan apa keperluannya datang ke Alas Puwo. Itu juga berlaku bagi mereka yang melakukan kegiatan religius seperti bersemedi atau bertapa,'' tambah Dwi. (*)
Ragam Wisata di Alas Purwo
1. Pantai Trianggulasi
Pantai ini berpasir putih bersih. Pada bulan April-November sering digunakan sebagai tempat bertelur empat jenis penyu. Yaitu penyu belimbing, sisik, abu-abu, dan hijau.
2. Sadengan
Tempat berkumpulnya hewan-hewan lindung. Seperti banteng, kijang, burung merak, dll.
3. Pura Luhur Giri Salaka
Tempat peribadatan umat Hindu. Umat Hindu Bali sering datang ke tempat ini setiap hari raya dalam kalender Hindu.
4. Ngagelan
Tempat penetasan dan penangkaran penyu. Dari tujuh jenis penyu di dunia, enam jenis penyu terdapat di Indonesia. Empat diantaranya; belimbing, sisik, abu-abu, dan hijau, sering bertelur di Alas Purwo.
5. Cunggur
Daerah konsentrasi burung migran asal Australia. Burung ini bermigrasi di musim dingin menuju Asia untuk mencari makan.
6. Bedul
Hutan magrove yang mensuri pantai Segoro Anakan ini, diklaim terbesar se-Asia. Banyak jenis burung di tempat ini. Antara lain bangau, pecuk ular, trinil, raja udang, pelikan, dll.
7. Pancur
Sungai yang mengalir ke laut dari pantai yang agak terjal sepanjang tahun. Pancur juga menjadi pintu masuk ke goa-goa dan areal surving G-Land alias Plengkung. Di sini juga terdapat masjid, penginapan, dan warung-warung makan.
8. Goa Istana
Tempat semedi selain goa Padepokan, Mayangkoro, Mangleng, dan Kucur
9. Plengkung
Turis mancanegara lebih sering menyebut G-land. Mungkin karena pantainya membentuk huruf G. Lokasi surving ini memiliki ombak tertinggi No 2 di Dunia setelah Hawaii. Ombak tertinggi terjadi pada bulan April-Agustus.
10. Tanjung Sembulungan
Panorama pegunungan dan hutan yang berbatasan dengan laut Muncar. Juga terdapat tebing-tebing karang yang eksotik.
11. Makam Gandrung
Tempat ini sering dijadikan lokasi selamatan nelayan Muncar. Biasanya pada setiap tanggal 15 Suro, dilakukan upacara petik laut dengan melarung aneka jenis sesaji.
12. Kayu Aking
Merupakan wilayah pantai berpasir putih seluas 12 km di sepanjang bibir pantai. Letaknya berbatasan langsung dengan Selat Bali.
Goa Istana; Tempat Semedi Bung Karno
Sering Jadi Jujugan Politisi dan Pejabat
Sebetulnya ada banyak goa di dalam areal Taman Nasional Alas Purwo. Yang terdata sekitar 40 goa. Namun hanya lima goa yang paling sering dikunjungi dan dikenal masyarakat luas. Yaitu goa Istana, Padepokan, Mayangkoro, Mangleng, dan Kucur. Selain karena lokasinya yang mudah dijangkau, keempat goa ini diyakini memiliki nilai mistis. Bahkan, mantan Presiden Soekarno, konon, pernah menjadikan goa ini sebagai tempat semedi.
ALI SODIQIN, Tegaldlimo
Dibanding goa-goa lain, goa Istana lebih mudah dijangkau. Letaknya sekitar 67 km dari arah Kota Banyuwangi. Atau sekitar 1,5 km dari arah Pancur. Jalanan yang ditempuh pun relatif lebih bersahabat dibanding goa-goa lain. Goa yang lebarnya tak lebih dari 8 meter dengan panjang 30 meter ini, menurut Plt KTU TN Alas Purwo, Dwi Arianto SH, terbentuk karena naiknya karang akibat lempeng Eurasia terdesak oleh lempeng Indo-Australia. ''Dulu, goa Istana ini berada di dalam lautan,'' kata Dwi. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya ditemukan cangkang kerang dan bebatuan karang di sekitar goa.
Di kalangan warga sekitar, goa Istana dikenal sebagai goa yang menyimpan sejumlah benda dan cerita mistis. Orang yang datang ke goa ini setiap harinya mencapai 100-300 orang. Jumlah itu semakin banyak jika mendekati tanggal 1 Suro pada kalender Jawa. Tujuan pengunjung macam-macam. Tapi, rata-rata, selain ngalab berkah agar tujuannya tercapai, para pengunjung yang datang ada juga untuk mencari benda pusaka seperti keris, batu delima, dan sebagainya. Salah satu benda pusaka yang paling dicari adalah keris Jalak Tilamsari. Pusaka sepanjang 30 cm tanpa lekukan ini, dulunya diyakini dibuat oleh Empu Andajasangkala pada tahun 1186 (Jawa). Sayang, hingga kini, tak seorang pun mengetahui keberadaan keris itu.
Ada cerita mistis dari masyarakat yang masih mempercayai klenik. Siapa yang bertapa di goa ini, dan dalam mimpinya didatangi seorang ratu, maka keinginannya bakal terkabul. Pamor dari cerita itu makin naik tatkala Bung Karno disebut-sebut sering bersemedi di goa itu. Mungkin karena cerita itu, banyak pejabat, politisi, bahkan kalangan militer sering datang ke tempat ini. Menurut cerita warga, terakhir kali pada 1 Suro lalu, seorang pejabat KPK yang namanya sangat terkenal, menginap semalaman di goa ini. Umumnya, orang-orang besar yang datang ke goa ini berharap agar jabatan yang diembannya tetap langgeng atau bahkan bisa terus naik. Calon-calon politikus juga sering datang ke tempat ini menjelang pemilu.
Setiap hari, ruangan dalam goa Istana ini dipenuhi asap dupa yang dibakar para pertapa untuk melengkapi ritualnya. Bagi pengunjung yang pernah datang, kepulan asap dupa tebal yang memenuhi lorong utama goa bukanlah pemandangan aneh dan menyeramkan lagi. Sejak ditemukan puluhan tahun lalu, gua ini diyakini sebagai tempat sakral dan lokasi terakhir bagi seseorang yang ingin mengasah dan melengkapi 'ilmu' yang mereka dapatkan selama lelaku.
Untuk mencapai goa ini, pengunjung harus melewati jalan setapak membelah hutan bambu sejauh 1,5 km dari arah Pancur. Bagi wisatawan, pergi ke goa ini sebaiknya jangan dilakukan pada saat musim hujan seperti sekarang ini. Karena jalan yang dilalui berubah sangat licin. Belum lagi tanah liat yang bercampur air hujan, membuat tanah semakin becek. Banyaknya pengunjung yang datang ke lokasi ini, mengakibatkan jalan yang lebarnya tak lebih dari satu kaki itu mirip rawa-rawa. Kedalamannya sekitar 10-20 cm. Karena itu, jika terpaksa datang di musim penghujan, pengunjung harus lebih hati-hati agar tidak terperosok.
Di depan pintu goa Istana, ada sekitar 20 undak-undakan (tangga dari semen) yang harus dilewati. Sekitar 20 meter di arah tenggara goa, terdapat sebuah pondok dari bambu. Tanpa atap. Luasnya kira-kira 2 x 2 m. Sepertinya baru dibangun. Tiga orang berbaju gamis dengan sorban di kepalanya, duduk tenang memperhatikan para pengunjung. Tak satu kata pun terucap dari bibir mereka. Masuk ke dalam goa, jangan berharap bisa melihat stalakmit maupun stalaktit seperti umumnya goa-goa. Goa Istana tak lebih dari bongkahan batu bolong. Minimnya kadar kapur, menjadikan sejumlah sumber air yang menetes dari langit-langit goa tak mencukupi untuk membuat stalakmit dan stalaktit.
Saat koran ini masuk ke bagian dalam goa, ternyata sudah ada tiga orang pertapa. Seseorang terlihat bersemedi di ujung goa dengan menghadap dinding. Mulutnya komat-kamit. Entah apa yang dia baca. Di belakangnya ada lampu teplek (botol yang diisi minyak tanah yang ujungnya diberi sumbu). Di sebelah kirinya, seorang pertapa tidur hanya beralaskan kapri (bekas tempat beras, seperti karung goni tapi terbuat dari plastik). Awak koran ini yang datang cukup berisik, sama sekali tak dihiraukan. Tampaknya dia betul-betul pulas dalam tidurnya. Di samping pintu masuk, seorang pertapa duduk mengawasi. Cerutu buatan sendiri terjepit erat di sela-sela jari tengah dan telunjuk sebelah kirinya. Sesekali asap pengepul dari bibirnya. ''Dari mana, Mas?'' tiba-tiba pertapa tadi bertanya kepada kami.
Pria yang bersemedi di pintu goa ini rupanya berbeda dengan rekan-rekannya. Dia mau berinteraksi dengan pengunjung. Sayang, pria yang mengaku dari Semarang itu tidak mau menyebut namanya. ''Sebetulnya ada empat orang dalam goa ini,'' kata dia. ''Tapi yang satu orang lagi bertapa di goa kecil itu,'' ujar pria tadi. Dia menunjuk sebuah lubang kecil ke arah depan. Setelah kami perhatikan, ternyata tidak ada lubang sama-sekali. Entah karena mata kami yang tidak bisa melihat, atau karena orang itu yang salah menunjuk.
Saat ditanya, apa tujuannya datang ke goa Istana ini, lelaki berambut gondrong itu tidak mau menjelaskan secara pasti. Yang jelas, kata dia, dirinya berada di goa Istana ini tak dibatasi waktu. ''Pokoknya, kalau sudah dapat, ya saya pulang,'' katanya. Untuk kebutuhan makan selama menjalani ritual ini, dia mengambilnya dari hutan bambu yang banyak tumbuh di sekitar gua. ''Ada juga yang turun ke desa seminggu sekali. Mereka mengumpulkan bahan makanan. Setelah terkumpul, baru kembali lagi,'' katanya.
Sudah tiga tahun lebih orang ini berada di goa Istana. Selama itu pula, sudah banyak orang yang datang dan pergi. Rata-rata, setelah apa yang mereka ingini terkabul, seketika itu juga mereka pergi. Ada juga yang datang pada bulan-bulan tertentu. Utamanya mendekati bulan Suro atau Muharram. Yang datang pada bulan tersebut didominasi para pejabat, politisi, kalangan militer, dan pengusaha. Tidak seperti layaknya pejabat, kedatangan mereka seringkali secara diam-diam. Bahkan, dari segi pakaian, kerap kali mereka meniru cara berpakaian orang-orang kebanyakan. Hanya petugas TN Alas Purwo yang mengetahui keberadaan mereka.
Mengapa tidak ada yang bermaksud memberi informasi ke media? ''Waah, itu privasi mereka, Mas. Kami tidak berani. Yang pasti, banyak orang-orang besar datang ke sini,'' ujar seorang petugas TN Alas Purwo. Tak hanya pejabat lokal Banyuwangi, pejabat dari berbagai kota-kota besar di Indonesia, bahkan pejabat istana dan politisi senayan pun sering datang ke Alas Purwo.
sumber : http://radarbanyuwangi.co.id
0 Komentar untuk "Tempat sakral Alas Purwo"