Komposer Rahayu Supanggah ( ETNOMUSICOLOGY )

“Setiap kali berkarya membuat musik, sebenarnya saya sekaligus belajar. Saya sangat menikmatinya,” kata Rahayu Supanggah, seorang komposer dan pemain musik andal di dalam tradisi musik Jawa yang sangat ketat, namun juga seorang kreator yang tak segan menabrak batasan apa pun untuk mencapai tujuan seninya.



Tutur kata lelaki separuh baya yang bertubuh gempal dan berkulit gelap ini mengundang tawa mengiyakan dari 50-an orang yang hadir di sebuah forum perbincangan di Esplanade, Singapura, 13 Maret 2007 silam. Mereka adalah para akademisi, seniman budayawan, dan pers dari berbagai penjuru dunia yang menaruh perhatian pada karya sastra terpendam I La Galigo dari Bugis. Mereka mengagumi musik gubahan Supanggah di dalam pertunjukan perdana I La Galigo semalam sebelumnya. Keterlibatan Rahayu Supanggah di dalam proyek seni menteaterkan I La Galigo, dan membawanya ke pentas dunia, sudah terjadi sejak tim awal membuat presentasi di Watermill, New York, Agustus 2001.



Sebelum menggarap musik I La Galigo, ia sendiri maupun sejumlah pemusiknya membuat penelitian ke berbagai daerah di Sulawesi Selatan, mengingat karya sastra yang akan dipanggungkan ini berasal dari sana. Mereka menyusuri kawasan Makassar, Bone, Bulukumba, Kajang, dan sejumlah wilayah lain. Masuk- keluar kampung, bertemu dengan para pemusik setempat, melakukan wawancara, mempelajari musiknya, dan kemudian membuat workshop musik bersama.



“Kami berusaha mendapatkan musik yang sudah jarang terdengar maupun yang masih terpakai,” katanya. Salah satu jenis langgam musik temuan itu mereka tampilkan di dalam pementasan tersebut, yang berasal dari musik masa panen. Supanggah menambahkan instrumen bambu yang diketukkan ke bahan kayu. Ada pula musik yang biasa dipakai untuk upacara pernikahan, untuk mengiringi upacara adu jago, yang semua terpakai di dalam pertunjukan tersebut. “Itu yang saya maksud dengan belajar setiap membuat karya. Orang Makassar belajar musik Bone, orang Bone belajar musik Selayar, orang Jawa belajar musik Bong, saya jadi ikut menguasai persoalan musik di Sulawesi Selatan,” katanya. Supanggah menandaskan, untuk kebutuhan artistik, ia tidak membatasi diri pada musik asal Sulawesi Selatan, demikian juga dengan para pemusik maupun instrumennya.



Komposer yang sudah menciptakan lebih dari 100 komposisi ini mengaku ada tarikan dari masa lalu yang sangat kuat, namun juga semangat masa depan dari sosok seni kontemporer Robert Wilson. “Saya harus memadukan konro (masakan khas setempat) dengan teh jawa, atau konro dengan Coca-cola,” katanya. Bekerja dengan Robert Wilson hanyalah satu tahapan di dalam perjalanan kesenian Rahayu Supanggah, yang tumbuh di dalam keluarga dalang wayang kulit Jawa, dengan tradisi berkesenian yang ketat. Ia sudah berkolaborasi dengan sejumlah seniman ternama lain, dengan berbagai pengalaman yang khas. Bersama tokoh teater dunia seperti Peter Brook, ia mesti menjalani proses bersama yang cukup panjang dengan berbagai workshop.



Bersama komposer asal Jepang, Toshi Tsuchitori menggarap musik untuk lakon Mahabharata tahun 1985 di Paris. Bekerja dengan Sardono W Kusumo untuk karya koreografinya Passage Through the Gong yang dipanggungkan keliling Amerika Serikat tahun 1993. Bersama Ong Keng Sen, sutradara asal Singapura, ia dan komposer setempat menggarap King Lear. Supanggah mengajukan gamelan, yang ia perbarui. Ia membuat instrumen gender dengan 21 bilah-normal hanya 16-yang bisa menampung berbagai pathet dari bahan besi untuk mengejar warna suara yang ia kehendaki. “Kami membuatnya ’baru’, dengan idiom baru, dengan konteks baru, cara penyajian baru,” tuturnya.



Semangat memperbarui itu bukan hal baru baginya. Sejak muda ia sudah menumbuhkan semangat melawan kemapanan. Lulusan Konservatori Karawitan Surakarta ini sudah kreatif’ sewaktu belajar di Akademi Seni Karawitan Indonesia, sekarang STSI Surakarta. Ia sempat dikecam merusak tradisi. Kini doktor etnomusikologi dari University of Paris tahun 1985 itu masih mengajar di STSI Surakarta.



Setelah menuai sukses dalam Festival Film Antarbenua di Prancis dan Festival Film Indonesia (FFI), Prof Dr Rahayu Supanggah sebagai penata musik Opera Jawa meraih penghargaan lagi. Dalam Hong Kong International Film Festival 2007 (Asian Film Awards) belum lama ini, dia kembali menyabet The Best Composer. Penghargaan tersebut menjadi sedemikian prestisius bukan karena raihan kali ketiga bagi seniman musik dari kota Solo itu. Selain menjadi satu-satunya kategori yang diraih oleh film Opera Jawa, penghargaan itu juga merupakan kali pertama untuk film Indonesia dalam ajang festival tersebut.



Di luar penghargaan Best Composer, sebelumnya film Opera Jawa masuk nominasi terbaik bersama dengan lima film lain. Kelima film tersebut adalah Curse of the Golden Flower (Hong Kong), Exiled (Hong Kong), The Host (Korea Selatan), Love and Honor (Jepang), dan Still Life (China daratan). Sementara Rahayu Supanggah masuk nominasi sebagai penata musik terbaik juga bersama dengan lima pemusik. Mereka adalah Jeong Yong-jin dalam Women on the Beach (Korea Selatan), Peter Kam (Isabella/Hong Kong), Lim Giong (Still Life/China daratan), dan Terashima (Tamiya Tales from Earthsea/Jepang).



sumber : tamanismailmarzuki.com
Bagikan :
+
Previous
Next Post »
0 Komentar untuk "Komposer Rahayu Supanggah ( ETNOMUSICOLOGY )"

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 
Copyright © 2015 B-Mus - All Rights Reserved
Template By Kunci Dunia
Back To Top