Wisata Kawah Tangkubanparahu
WISATA kawah Tangkubanparahu adalah paduan kekuatan legenda Sangkuriang yang mengakar di masyarakat Jawa Barat dan keelokan kawah yang setia menyemburkan belerang dan sumber air panas.
Ribuan turis domestik dan turis mancanegara setiap hari berkunjung ke Tangkubanparahu. Dalam kunjungan ke kawah itu, April lalu, hawa dingin segera menyapa kawasan wisata yang dikunjungi sekitar 1,5 juta wisatawan per tahun itu. Tak heran karena hawa dingin itu, keluar uap dari mulut para wisatawan yang bercengkerama.
Gunung berketinggian 2.084 meter di atas permukaan laut ini dikenal sebagai salah satu gunung api aktif di dunia, yang kawahnya bisa dilihat dengan mata telanjang. Bahkan, dasar kawahnya bisa dituruni, dan air hangat yang muncul ke permukaan kawah bisa dinikmati pengunjung untuk berendam, hingga merebus telur!
Tentu saja, memori tentang Tangkubanparahu tak bisa dilepaskan dari keelokan dan memori gelang-gelang obyek wisata di sekitarnya. Sebut saja pusat sayur-mayur dan pasar bunga Lembang yang memiliki gedung Peneropongan Bintang Boscha. Lalu hutan alam Jayagiri yang dipuja-puja generasi 1970-an, dan diabadikan kelompok Bimbo dalam lagu ”Melati dari Jayagiri” serta Taman Wisata Alam Maribaya yang menyediakan guyuran air hangat belerang.... Maribaya pun pernah diabadikan oleh grup musik The Cats asal Belanda sebagai judul lagu.
Keistimewaan kawahnya membuat Tangkubanparahu ditetapkan sebagai kawasan wisata berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 528/Kpts/UM-IX, 3 September 1979. Luas taman wisata alam di wilayah hutan konservasi ini mencapai 370 hektar dan menjadi bagian dari Cagar Alam Tangkubanparahu yang seluas 1.290 hektar.
Berjarak sekitar 30 kilometer dari Kota Bandung, Tangkubanparahu bisa ditempuh selama satu jam dari pusat kota, dengan mobil. Keterjangkauan jarak itu yang membuat banyak wisatawan dalam dan luar negeri, terutama asal Malaysia dan India, mengunjungi Tangkubanparahu.
Harta Tangkubanparahu terletak pada keberadaan 12 kawahnya, baik yang aktif maupun tidak aktif. Tiga kawah terbesar dengan diameter sekitar 500 meter menjadi tujuan utama wisata, yakni Kawah Ratu, Domas, dan Upas. Adanya gas beracun di Kawah Ratu dan Kawah Upas mengakibatkan keduanya tidak bisa dituruni sejak 1975. Hanya Domas yang bisa dituruni.
Untuk melihat Kawah Ratu, yang dikisahkan sebagai tempat Dayang Sumbi menceburkan diri, gara-gara obsesi cinta anaknya Sangkuriang itu, wisatawan bisa memarkir mobil tepat di bibir kawah.
Pandangan bebas ke dasar Kawah Ratu membuat takjub. Genangan air hujan yang jatuh di dasar kawah bisa berubah warna-warni: kadang biru, lain hari hijau. Halimun yang turun perlahan dari pucuk pepohonan menerbitkan eksotisme alam.
Jika hujan rintik turun, kegelapan segera menyelimuti kawasan itu. Keraguan kerap muncul, antara ingin pergi karena hawa begitu dingin, atau bertahan karena penasaran menyaksikan gelap yang datang.
Kawah Ratu selalu menjadi tujuan pertama wisatawan. Perjalanan diteruskan ke Kawah Upas yang berjarak 1,5 kilometer dari Kawah Ratu, lalu menuju Kawah Domas berjarak 1,2 kilometer. Di Kawah Domas wisatawan bisa duduk-duduk di dasar kawah, sembari merendam kaki dengan air hangat. Suhu air bervariasi, mulai 35 derajat celsius hingga yang terpanas 100 derajat celsius. Turis juga bisa merebus telur di kolam terpanas selama 10 menit. Merebus telur di kawah gunung benar-benar sebuah sensasi.
Rata-rata 1.500 turis berkunjung setiap hari, 500 di antaranya turis asing yang sebagian besar dari Malaysia dan India.
Sayang, keindahan alam itu jadi kurang sempurna karena kondisi jalan sepanjang sekitar 5 kilometer di kawasan itu rusak. Perbaikan jalan terkendala karena status pengelolaan Tangkubanparahu yang bermasalah.
Sejak 2007, PT Graha Rani Putra Persada memegang izin pengelolaan pariwisata alam Taman Wisata Alam Tangkubanparahu dari Kementerian Kehutanan. Namun, izin itu ditentang tokoh dan pegiat lingkungan Jabar karena dinilai merusak fungsi ekologis kawasan itu. Ada informasi, PT Graha Rani akan membangun hotel, restoran, dan cottage di sana. Padahal, perizinannya, tanpa rekomendasi Gubernur Jabar.
Pengelolaan kawasan itu menjadi sorotan publik karena taman wisata alam berfungsi ekologis, ekonomis, sekaligus etnologis bagi masyarakat Sunda. Tangkubanparahu memasok 60 persen sumber air bagi cekungan Bandung. Kerusakan ekologis di sini berarti ancaman bagi warga Bandung.
Di gunung ini juga tumbuh beberapa jenis flora khas Tatar Sunda, antara lain puspa (Schima wallichii), pohon lemo yang bisa mengusir ular dan serangga, dan 12 macam pakis. Fauna langka yang dilindungi, seperti elang jawa, macan tutul, dan macan kumbang, juga hidup di sana.
Fungsi etnologis merekatkan hubungan masyarakat Sunda dengan Tangkubanparahu. Dikisahkan, Sangkuriang yang ingin menikahi ibunya, Dayang Sumbi, dimintai syarat untuk membuat danau, berikut perahunya dalam semalam. Dayang Sumbi menggagalkan upaya itu dengan mengibarkan selendang, dan di ufuk timur muncullah semburat fajar.
Merasa gagal, Sangkuriang marah dan menendang perahunya sehingga jatuh tertangkup. Dari sanalah nama Tangkubanparahu muncul sebagai ”kata bersayap”. Tangkubanparahu juga dikenal sebagai tempat para dewa karena secara etimologis parahu menunjuk kata para yang artinya banyak dan hu yang artinya dewa atau kebaikan.
Kini Tangkubanparahu berubah jadi sandaran hidup ribuan orang. Pedagang suvenir dan makanan, tukang parkir, dan tukang kuda, dan banyak lagi. Bibir Kawah Ratu, yang dulu sunyi, kini dijejali ratusan kios, tempat parkir mobil, sampai pemain angklung yang menggoda dengan lagu jenaka Sunda.
kompas.com
0 Komentar untuk "Wisata Kawah Tangkubanparahu"