SEJARAH SINGKAT KERAJAAN BLAMBANGAN
Kerajaan Blambangan adalah kerajaan yang berpusat di kawasan Blambangan, sebelah selatan Banyuwangi. Raja yang terakhir menduduki singgasana adalah Prabu Minakjinggo. Kerajaan ini telah ada pada akhir era Majapahit. Blambangan dianggap sebagai kerajaan bercorak Hindu terakhir di Jawa.
Sebelum menjadi kerajaan berdaulat, Blambangan termasuk wilayah Kerajaan Bali. Usaha penaklukan kerajaan Mataram Islam terhadap Blambangan tidak berhasil. Inilah yang menyebabkan mengapa kawasan Blambangan (dan Banyuwangi pada umumnya) tidak pernah masuk pada budaya Jawa Tengahan, sehingga kawasan tersebut hingga kini memiliki ragam bahasa yang cukup berbeda dengan bahasa Jawa baku. Pengaruh Bali juga tampak pada berbagai bentuk kesenian tari yang berasal dari wilayah Blambangan.
SEJARAH SINGKAT BANYUWANGI
Merujuk data sejarah yang ada, sepanjang sejarah Blambangan kiranya tanggal 18 Desember 1771 merupakan peristiwa sejarah yang paling tua yang patut diangkat sebagai hari jadi Banyuwangi. Sebelum peristiwa puncak perang Puputan Bayu tersebut sebenarnya ada peristiwa lain yang mendahuluinya, yang juga heroik-patriotik, yaitu peristiwa penyerangan para pejuang Blambangan di bawah pimpinan Pangeran Puger ( putra Wong Agung Wilis ) ke benteng VOC di Banyualit pada tahun 1768.
Namun sayang peristiwa tersebut tidak tercatat secara lengkap pertanggalannya, dan selain itu terkesan bahwa dalam penyerangan tersebut kita kalah total, sedang pihak musuh hampir tidak menderita kerugian apapun. Pada peristiwa ini Pangeran Puger gugur, sedang Wong Agung Wilis, setelah Lateng dihancurkan, terluka, tertangkap dan kemudian dibuang ke Pulau Banda ( Lekkerkerker, 1923 ).
Berdasarkan data sejarah nama Banyuwangi tidak dapat terlepas dengan keajayaan Blambangan. Sejak jaman Pangeran Tawang Alun (1655-1691) dan Pangeran Danuningrat (1736-1763), bahkan juga sampai ketika Blambangan berada di bawah perlindungan Bali (1763-1767), VOC belum pernah tertarik untuk memasuki dan mengelola Blambangan ( Ibid.1923 :1045 ).
Pada tahun 1743 Jawa Bagian Timur ( termasuk Blambangan ) diserahkan oleh Pakubuwono II kepada VOC, VOC merasa Blambangan memang sudah menjadi miliknya. Namun untuk sementara masih dibiarkan sebagai barang simpanan, yang baru akan dikelola sewaktu-waktu, kalau sudah diperlukan. Bahkan ketika Danuningrat memina bantuan VOC untuk melepaskan diri dari Bali, VOC masih belum tertarik untuk melihat ke Blambangan (Ibid 1923:1046).
Namun barulah setelah Inggris menjalin hubungan dagang dengan Blambangan dan mendirikan kantor dagangnya (komplek Inggrisan sekarang) pada tahun 1766 di bandar kecil Banyuwangi ( yang pada waktu itu juga disebut Tirtaganda, Tirtaarum atau Toyaarum), maka VOC langsung bergerak untuk segera merebut Banyuwangi dan mengamankan seluruh Blambangan. Secara umum dalam peprangan yang terjadi pada tahun 1767-1772 ( 5 tahun ) itu, VOC memang berusaha untuk merebut seluruh Blambangan. Namun secara khusus sebenarnya VOC terdorong untuk segera merebut Banyuwangi, yang pada waktu itu sudah mulai berkembang menjadi pusat perdagangan di Blambangan, yang telah dikuasai Inggris.
Dengan demikian jelas, bahwa lahirnya sebuah tempat yag kemudian menjadi terkenal dengan nama Banyuwangi, telah menjadi kasus-beli terjadinya peperangan dahsyat, perang Puputan Bayu. Kalau sekiranya Inggris tidak bercokol di Banyuwangi pada tahun 1766, mungkin VOC tidak akan buru-buru melakukan ekspansinya ke Blambangan pada tahun 1767. Dan karena itu mungkin perang Puputan Bayu tidak akan terjadi ( puncaknya ) pada tanggal 18 Desember 1771. Dengan demikian pasti terdapat hubungan yang erat perang Puputan Bayu dengan lahirnya sebuah tempat yang bernama Banyuwangi. Dengan perkataan lain, perang Puputan Bayu merupakan bagian dari proses lahirnya Banyuwangi. Karena itu, penetapan tanggal 18 Desember 1771 sebagai hari jadi Banyuwangi sesungguhnya sangat rasional.
SITUS-SITUS BUMI BLAMBANGAN
- Makam-Makam Bupati Banyuwangi
Barat pengimaman masjid Baiturrohman terdapat makam-makam bupati Banyuwangi antara lain : Wiroguno II (1782-1818), Suronegoro (1818-1832), Wiryodono Adiningrat (1832-1867), Pringgokusumo (1867-1881), Astro Kusumo (1881-1889), sedangkan Bupati pertama Banyuwangi Mas Alit (1773-1781) gugur dan dimakamkan di Karang Asem Sedayu. Hanya bajunya saja yang dikebumikan di taman pemakaman tersebut.
- Masjid Jami’ Baiturrohman
Tanah wakaf dari masa (Wiroguno I) yang direhap pertama kali pada masa Raden Tumenggung Pringgokusumo. Dulu terdapat kaligrafi bertuliskan Allah Muhammad yang ditulis oleh Mas Muhammad Saleh dengan pengikutnya Mas Saelan. Mulai tahun 2005 sampai sekarang Masjid ini masih dalam tahap renovasi dan akan menjadi salah satu aikon Banyuwangi setelah selesai di renovasi.
- Sumur Sri Tanjung
Ditemukan pada masa Raden Tumenggung Notodiningrat (1912-1920). Terletak di timur Pendopo Kabupaten. Sri tanjung dan Sidopekso merupakan legenda turun-menurun yang merupakan kisah asmara dan kesetiaan yang merupakan cikal bakal Banyuwangi.
Konon jika sewaktu-waktu air sumur berubah bau menjadi wangi maka itu akan menjadi suatu pertanda baik / buruk yang akan menimpa suatu daerah ataupun bangsa ini.
- Musium Blambangan
Berlokasi di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi. Awalnya didirikan oleh Bupati Banyuwangi Djoko Supaat Selamet yang berkuasa pada tahun (1966-1978) di kompleks pendopo Kabupaten Banyuwangi namun pada tahun 2004 Musium direlokasikan di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi hingga sekarang.
Koleksi yang dimiliki oleh museum antara lain: Berbagai macam kain batik, contoh rumah adat using Banyuwangi, kain-kain dari masa lampau, replica seni musik angklung, aneka macam senjata perang, alat-alat musik peninggalan Belanda, dan yang paling menarik perhatian pengunjung untuk melihat replica Barong dan penari Gandrong yang menjadi simbol Kota Banyuwangi
- Sonangkaryo
Sonangkaryo adalah umbul-umbul kerajinan Blambangan, menurut Mishadi hasil wawancara dengan Sayu Darmani (Tumenggungan) bahwa ibunya yang bernama Sayu Suwarsih telah lama menyimpan Sonangkaryo tersebut, namun ketika dirasa tidak kuat lagi mengemban amanah tersebut, maka dibuanglah satu kotak pusaka yang berisi umbul-umbul Sonangkaryo, Cemeti, dan Lebah penari musuh.
- Tugu TNI 0032
Taman Makam pahlawan yang terletak di bibir pantai Boom merupakan pertempuran tentara laut NKRI yang dipimpin oleh Letnan Laut Sulaiman melawan AL, AD, dan AU Belanda pada tanggal 21 Juli 1947. Tugu tersebut disahkan oleh Presiden RI yang pertama yaitu Bung Karno.
- Benteng Ultrech (Kodim)
Berada di batas selatan markas Kodim, dulu terdapat rumah nuansa Portugis yang dijadikan sebagai tempat pengintaian Balanda terhadap gerak-gerik orang Blambangan di pendopo pada masa pemerintahan Mas Alit.
- Inggrisan
Dibangun oleh Belanda sekitar tahun 1766-1811, yang luasnya sekitar satu hektar, merupakan markas yang dulunya bernama Singodilaga, kemudian diganti dengan nama Loji (Inggris = Lodge, artinya penginapan / pintu penjagaan) yang disekitarnya dibangun lorong-lorong terhubung dengan Kali Lo (Selatan), dan Boom (Timur) akhirnya diserahkan kepada Inggris setelah Belanda kalah perang (Sumber Java’s Last Frontier, Margono. 2007),selatan berupa perkantoran yang disebut Bire (Sekarang Telkom) dan kantor pos, di daerah tersebut pernah terjadi peristiwa yang hamper mirip dengan peristiwa di hotel Yamato, Surabaya, yaitu orang-orang Blambangan dengan berani merobek bendera belanda yang berwarna merah putih biru menjadi merah putih saja.
Depan Inggrisan terdapat Tegal Loji, selatannya adalah perkampungan Belanda (Kulon dam), timurnya adalah Benteng Ultrech dan tempat penimbunan kayu gelondongan (sekarang Gedung Wanita) sebelah utara dulu sebagai kantor regent dan garasi kuda mayat (sekarang Bank Jatim) dan perumahan Kodim sekarang, dulu adalah markas polisi Jepang / kompetoi lalu jaman Belanda dijadikan perumahan svout.
- Makam Datuk Malik Ibrahim
Salah satu Waliyullah keturunan Arab Saudi yang banyak di kunjungi peziarah dari dalam dan luar Banyuwangi terletak di Desa Lateng Banyuwangi.
- Konco Hoo Tong Bio<
Terletak di Pecinan kecamatan kota Banyuwangi pada waktu terjadi pembantaian orang-orang Cina oleh VOC di Batavia, seorang yang bernama Tan Hu Cin Jin dari dratan Cina yang menaiki perahu bertiang satu.
Perahu tersebut kandas di sekitar pakem dan Tan Hu Cin Jin memutuskan menetap di wilayah Banyuwangi. Untuk mengenang peristiwa tersebut, didirikanlah klenteng Hoo Tong Bio.
Setiap tanggal 1 bulan Ciu Gwee (kalender cina), pada tengah malam sebelum tahun baru diadakan sembahyang bersama. Dalam acara tahun baru Imlek kesenian barong Said an Kong-kong ditampilkan, kemudian ada sebuah acara yang disebut Cap Go Mee dirayakan pada hari ke 15 sesudah tahun baru Imlek, dengan mengarak patung yang Maha Kong Co Tan Hu Cin Jin keliling disekitar kampung pecinan. Hal ini dimaksud kan untuk menolak bala’ dan mengharap berkah kepada Tuhan. Acara ini dimiriahkan dengan tarian barongsai dan berbagai kesenian daerah lainnya. Makanan khas yang disajikan adalah lontong Cap Go Mee.
Tak hanya itu, Hari ulang tahun tempat ibadah Tri Dharma “Hoo tong Bio” yang dibangun pada tahun 1781, ucapan itu bertujuan untuk memperingati kebesaran yang mulia Kong Co Tan Hu Cin Jin dan biasanya doadakan pd tanggal 27 Agustus.
- Watu Dodol
Sebuah batu besar terletak di daerah ketapang yang pernah ditarik oleh kapal Jepang, pernah dijadikan benteng pertahanan Jepang pada masa perang dunia II, dan pada maa setelah kemerdekaan dijadikan tempat pendaratan Belanda antara lain 14 April 1946 yang mendapatkan perlwanan orang Banyuwangi dibawah kepemimpinan Pak Musahra (orang tua dari Lurah Astroyu), 20 Juli 1946 Belanda mendapatkan perlawanan dari Yon Macan Putih yang dipimpin oleh Raden Abdul Rifa’I dan Letnan Ateng Yogasana, 21 Juli 1947, Yon Macan Putih yang berhasil menenggelamkan kapal dan tengker milik Belanda.
Sejak dahulu kala tempat ini dijadikan tempat Upacara Agama Hindu yaitu Jala Dipuja / Melasti / Melayis yang di maksud untuk memohon anugerah dari penguasa laut, pelaksanaannya bertepatan pada saat mentari bergeser ke Utara khatulistiwa sebelum datangnya hari raya Nyepi.
Upacara ini dipimpin oleh seorang pendeta yang memberkati umatnya dengan cara mencipratkan “Tirta Suci” yaitu air suci yang diambil dari sumur pitu (tujuh sumber air). Beberapa sesaji diarak ke laut atau di mata air.
BONUS:
Nama :
Sunan Giri
Asal :
Kerajaan Blambangan
Kesaktian :
Sewaktu Bayi Terhanyut Dilautan didalam peti.
Bermula pada kerajaan Blambangan dengan sang raja bernama Prabu Minak Sembuyu. Pada saat itu kerajaan Blambangan sedang dilanda wabah penyakit dan putri sang raja Dewi Sekar Dadu turut menderita penyakit.
Raja Blambangan mengadakan sayembara, "Barang siapa yang bisa menyembuhkan penyakit Dewi Sekar Dadu, ia akan dikimpoikan dengan sang putrinya". Maka diundanglah Syekh Maulana Ishaq oleh raja Blambangan untuk menyembuhkan penyakit putrinya.
Syekh Maulana Ishaq berhasil menyembuhkan penyakit sang putri dengan syarat, kalau sang putri sembuh maka keluarga raja harus memeluk agama Islam. Raja setuju.
Usaha Syekh Maulana Ishaq dengan do'a nya berhasil menyembuhkan tuan putri sang raja, sesuai perjanjian maka dikimpoikannya. Tetapi raja Blambangan ingkar janji ia tidak mau memeluk agama Islam. Lalu Syekh Maulana pulang ke negeri asalnya yaitu Samudera Pasai di Aceh bagian Utara. Saat itu purti sedang hamil tujuh bulan. Suaminya berpesan bila anaknya laki-laki kelak diberi nama Raden Paku. Lalu Dewi Sekar Dadu melahirkan bayi laki-laki lalu diberi nama Raden Paku yang lebih dikenal sebagai Sunan Giri.
Akan tetapi bayi tersebut singkirkan oleh raja Blambangan dimasukan ke peti dan di buang ke selat Bali. Didalam hanyutan lautan yang begitu luas peti tersebut terombang ambing terbawa arus dan ombak.
Ditengah lautan peti yang berisi bayi tersebut diangkut oleh Kapan yang melintas dan melihatnya, nahkoda kapal terheran bahwa peti yang diambilnya dari lautan didalamnya ada sosok bayi yang mungil.
Kapan tersebut batal berlayar dan kembali ke Gresik, disinilah bayi tersebut diberi nama Joko Samudera dan tumbuh menjadi dewasa.
Joko Samudera alias Sunan Giri ini dididik keagamaan oleh Sunan Ampel dan beberapa waktu berjalan Sunan Ampel mengetahui bahwa Joko Samudera adalah putera pamannya yang bernama Syekh Maulana Ishaq. Joko Samudera menyempatkan diri bertemu dengan ayahnya.
Dengan berkelana menimba ilmu keagamaan sampai ke Mekah, Sunan Giri kembali ke kerajaan Blambangan dan bertemu dengan raja Prabu Minak Sembuyu, raja terlihat senang bisa kembali betemu dengan cucunya, akhirnya agama Islam berkembang di kerajaan Blambangan.
================================
Untuk menambah semangat enaknya panas2 gini minum :
cendol ijo-ijo jika berkenan
klik timbangan dan thanks pun diterima dengan
Last edited by hateisworthless; 02-11-2008 at 01:04 AM..
hateisworthless is offline Add to hateisworthless's Reputation Report Post Report Post Multi-Quote This Message QUOTE
hateisworthless
View Public Profile
Send a private message to hateisworthless
Find More Posts by hateisworthless
Add hateisworthless to Your Contacts
View Blog
KaskusAd - Create an AD
Old 24-10-2008, 11:37 PM #2
hateisworthless
kaskus maniac
hateisworthless's Avatar
UserID: 303911
Join Date: Jul 2007
Posts: 4,532
Blog Entries: 8
hateisworthless has a spectacular aura abouthateisworthless has a spectacular aura about
PRABU MINAK JINGGO
Ada banyak versi tentang sejarah Minak Jinggo. Sebagian besar warga Bumi Blambangan mengidolakan Minak Jinggo sebagai tokoh protagonis. Sebagian ahli sejarah justru menganggap Minak Jinggo sebagai tokoh protagonis yang memang layak dibunuh.
Salah satu versi menyebutkan, pada masa pemerintahan Majapahit yang dipegang oleh Ratu Ayu Kencana Wungu, terjadi pemberontakan yang dilakukan Minak Jinggo. Jinggo mengacau lewat Banyuwangi. Yang merupakan pintu laut Jawa bagian timur. Sebagian besar pasukan Jinggo tidak diketahui telah masuk dari semarang. Pokok persoalan pemberontakan tersebut adalah karena Minak Jinggo ingin memperistrikan Ratu Ayu Kencana Wungu. Tetapi ditolak karena wajah Minak Jinggo jelek seperti raksasa.
Hampir saja Minak Jinggo memperoleh kemenangan karena dia sangat sakti. Sebab memiliki senjata yang disebut gada wesi kuning. Akhirnya Ratu Kencana Wungu membuka sayembara barangsiapa yang dapat mengalahkan Minak Jinggo akan memperoleh hadiah luar biasa.
Tersebutlah seorang ksatria putra seorang pendeta bernama Raden Damarwulan (riwayat lain menyebut nama Sirojan Munira atau Maulana Iskak) yang memasuki arena sayembara. Dalam peperangan dengan Minak Jinggo hampir saja Damarwulan dapat tersingkir. Akan tetapi atas bantuan dua orang selir Minak Jinggo yang bernama Dewi Waita dan Dewi Puyengan, akhirnya Minak Jinggo dapat dikalahkan.
Selanjutnya Dewi Waita dan Dewi Puyengan menjadi istri Damarwulan. Sebagai imbalan atas kemenangan itu maka Damarwulan akhirnya menjadi suami Ratu Ayu Kencana Wungu (mempunyai putra yang dinamai Raden Paku/Sayid Ainul Yaqin yang kelak menjadi raja Demak) dan bersama-sama memerintah di Majapahit (Blambangan). Cerita versi ini amat popular di kalangan masyarakat Jawa Tengah.
Versi masyarakat Banyuwangi sendiri, karakter Minak Jinggo digambarkan sangat berlawanan dengan apa yang diyakini masyarakat Jawa pada umumnya. Digambarkan orang Jawa, Minak Jinggo merupakan sosok yang bertemperamen buruk, kejam, dan sewenang-wenang. Disamping buruk rupa, pincang, suka makan daun sirih, dan ngotot ingin menikahi Sri Ratu Kencana Wungu.
Menurut pandangan orang Banyuwangi, Minak Jinggo digambarkan sebagai sosok yang rupawan, digandrungi banyak wanita, arif, bijaksana dan pengayom rakyatnya. Mengapa Minak Jinggo sampai memberontak?
Menurut para sesepuh Banyuwangi, itu lebih dikarenakan dia menagih janji Kencana Wungu untuk menjadikannya suami, setelah mampu mengalahkan Kebo Marcuet dan dimenangkan oleh Minak Jinggo. Wajah Minak Jinggo menjadi rusak karena terluka pada saat bertarung dengan Kebo Marcuet. Dan demi melihat wajah Minak Jinggo yang rusak, maka Kencana Wungu menolak. Akhirnya Minak Jinggo memberontak.
Pandangan inilah yang berupaya diluruskan. Mengingat citra Minak Jinggo yang buruk dalam catatan legenda Damarwulan. Keabsahan Damarwulan dengan legenda-legendanya pun masih simpang siur. Dan data masih kurang lengkap.
Versi lain, di bawah pemerintahan Minak Jinggo, waktu itu Kerajaan Blambangan sedang makmur. Tanda bekas luka yang ada di wajah Minak Jinggo justru menyebabkan banyak wanita cantik jatuh cinta. Karena luka itu dipandang sebagai simbol keperkasaan seorang pria. Pada saat itu Blambangan amat makmur. Karena pengaruhnya yang besar pula, hingga membuat Pemerintahan Pusat Majapahit ketakutan akan kemungkinan Minak Jinggo memberontak. Apalagi konon pasukan Blambangan sangat kuat saat itu. Dalam lakon pewayangan, Damarwulan digambarkan menyelinap ketika hendak membunuh Minak Jinggo. Bukti bahwa dia seorang pengecut. Jika dia seorang kesatria, maka Damarwulan akan terang-terangan menyerang Blambangan.
kaskus.us
Next
« Prev Post
« Prev Post
Previous
Next Post »
Next Post »
1 Komentar untuk "Sejarah Banyuwangi - Blambangan"
JAWA TIMUR,.....26/06/2013
RUMAHKU ADA DI MOJOKERTO,TROWULAN......,TU DAERAH KERJAAN MAJAPAHIT
NGELEWATIN PENDOPO AGUNG(KRJAAN MAJAPAHIT)
RUMAH PATIHNYA GAJAH MADA.....,NAH SEKARANG AKU LAGI
ADA DI BANYUWANGI SEKITAR BLAMBANGAN......,
DI SITU DULU SEJARAHNYA MINAK JINGGO,KEBO MARCUEK.,...DAMARWULAN,......DAN RATU KENCANA WUNGU.....
................................................................................
TAPI PADA DAHULU DULU KATA-NYA SIH KALAU NDAK SALAH
ADA KEPALA ATAU BADAN-NYA GITU DI TARUH BANYUWANGI,MUNCAR.....
DAN AKU BELUM TAU SIH......KAYAK APA-NYA ORANGNYA.....,
AKU DI BANYUWANGI....JUGA LIAT TANAH WAKAF SOALNYA ITU DULU SEJARAHNYA MAJAPAHIT.....ADA DI BAMBU RIA....."
SETERUSNYA AKU BELUM TAU MUSEUM YANG ADA DI BANYUWANGI....."