Hujan di hati Bella

Hujan turun lagi. Cukup deras. Bella duduk menghadap ke luar toko bunga. Dan tentu saja perasaan tenang menelusup ke dalam hatinya. Bella sangat menyukai hujan. Ada kebahagiaan tersendiri yang dirasakannya, saat titik-titik hujan berloncatan di jalanan beraspal. Apalagi bila hujan turun saat menjelang malam seperti ini, titik-titik hujan itu membias warna-warni saat bertemu dengan sorot lampu kendaraan yang lalu lalang dengan sangat tergesa. Klakson berbunyi keras bersahut-sahutan. Yah, ini memang jam pulang kerja, mungkin mereka sudah lelah dan ingin segera sampai di rumah, bertemu keluarga dan menikmati secangkir minuman hangat. Meskipun keadaan riuh di luar sana, tapi Bella tetap merasakan kesejukan di hatinya. Liburan semester ini memang berbeda bagi Bella, dia memilih tinggal di rumah dan membantu mengurus toko bunga mamanya, yang selama ini di urus sepupunya, Tisa. Setiap hari, saat hujan turun, Bella pasti duduk dekat jendela kaca besar, di sela bunga-bunga, memandang keluar dan kadang tersenyum sendiri. Letak toko bunganya memang sangat strategis, di jalan utama kota, perempatan pula. Dengan mudah, Bella mengamati hujan mengguyur kota dari dalam toko bunga. Tisa mendekati Bella sambil menyodorkan cokelat panas dalam gelas plastik yang baru saja dibelinya dari kafe di sebelah toko bunga.
“Bel... kamu tuh kesambet setan hujan yah?” tanya Tisa sambil mengulurkan gelas plastik di tangannya. Bella tersenyum sambil menerima gelas plastik itu.
“Apaan sih, Tis. Siapa juga yang kesambet?”
“Kamu tuh aneh, Bel. Tiap kali hujan turun, kamu pasti duduk di sini dan jadi autis.”
“Masak sih?” tanya Bella sambil mengernyitkan dahinya.
“Kamu nggak sadar yah, Bel? Bahkan kadang-kadang kamu senyum sendiri,” Tisa meyakinkan.
“Nggak segitunya juga kali, Tis,” Bella kembali tersenyum dan terus memandang titik-titik hujan di luar yang masih saja ditingkahi suara klakson kendaraan.
“Terserah deh kalau kamu nggak sadar juga. Memangnya kamu tuh lihat apa sih, Bel? Sampai segitunya?” tanya Tisa yang penasaran. Bella menyeruput cokelat panasnya, kemudian menarik napas.
“Feel it, Tis. Sejuk, tenang, bias warna-warni...” kalimat Bella menggantung.
“I can’t feel anything. Nggak ada yang spesial, apalagi sampai bikin autis kayak kamu,” Tisa menggelengkan kepalanya.
“I really love rain. Aku memang suka hujan, Tis.” Mata Bella menerawang jauh menembus jalanan yang belum juga lengang.
“Apa sih, Bel? Aku tambah nggak ngerti. Apa menariknya hujan itu? Dingin, basah, macet, kita nggak bisa ke mana-mana. Or... you have something you didn’t tell me about the rain?” tanya Tisa masih penasaran.
“Sudahlah, Tis. Nggak perlu didramatisir. Ini cuma masalah suka dan nggak suka. Seperti halnya ada orang yang suka nongkrong lama-lama di kafenya Sultan tuh (kafe yang di sebelah toko bunga), cewek rambut pirang yang tiap sore selalu ke situ, kamu perhatiin nggak? Kalau di tanya kenapa, pasti dia punya alasan sendiri, yang mungkin aku dan kamu nggak bisa terima, sama kayak kamu nggak bisa terima alasan aku,” jawab Bella.
“Whatever lah.... bikin pusing mikirin kamu,” kata Tisa menyerah sambil mengangkat kedua tangannya. Bella tersenyum melihat tingkah sepupunya itu. Matanya memandang seorang wanita muda yang berlari bersama seorang pria yang juga masih muda. Sepertinya sepasang kekasih. Mereka berteduh di depan toko bunga. Si pria menyodorkan jaketnya untuk di pakai si wanita. Sepertinya mereka seumuran dengan Bella, dan kelihatan sekali kalau mereka sedang dimabuk asmara. Menjelang pukul 9 malam, hujan mulai agak reda. Tisa membersihkan toko, sementara Bella membuat pembukuan harian di lap topnya. Hitung menghitung yang sejak sekolah dasar tidak disukainya, tapi Bella harus memberikan laporan pada mamanya. Setelah semuanya selesai mereka bergegas keluar dari toko. Tisa menutup dan mengunci rolling door, dan Bella berteriak memanggil taksi yang pangkalannya tidak jauh dari toko bunga. Sepanjang perjalanan, mereka hanya diam, tak ada satu patah kata pun yang keluar dari mulut Bella maupun Tisa. Sampai Tisa turun dari taksi lebih dulu, karena memang tempat tinggalnya lebih dekat dengan toko bunga.
Bella tenggelam dalam sunyi, sementara matanya tak lepas dari titik-titik di jendela taksi. Sampai di rumah, mbok Nah sudah menyiapkan air panas, Bella segera mandi, kemudian merebahkan diri di tempat tidurnya. Tangannya memegang remote televisi dan menekan tombol power. Tidak ada acara yang menarik, hanya sinetron-sinetron cengeng yang sama sekali tidak masuk akal dan terlalu bertele-tele. Tangan Bella sibuk memindah channel televisi sampai akhirnya dia mematikannya. Tangannya beralih ke remote stereo set di sudut kamarnya. Tak lama kemudian mengalun lagu-lagu dari Mocca, yang bisa dipastikan langsung membuatnya tertidur pulas.
Pagi yang sangat cerah, Bella membuka lebar-lebar jendela kamarnya. Setelah sejenak menikmati harum udara pagi, dia bergegas ke meja makan. Sarapan sudah disiapkan mbok Nah, omelet telur ditambah keju. Dan juga segelas susu skim. Saat akan mengambil susu, matanya tertuju pada sebuah kotak kecil yang dihiasi pita warna merah.
“Apa ini mbok?” tanya Bella pada mbok Nah yang masih sibuk di meja makan.
“Nggak tahu,non. Tadi pagi ada tukang ojeg nganter itu, katanya buat non Bella,” jawab mbok Nah.
“Mbok Nah nggak tanya ini dari siapa?”
“Sudah, non. Tapi katanya dia juga nggak tahu. Dia hanya disuruh gitu aja.”
Bella menarik napas dalam-dalam, lalu membuka kotak itu, isinya gulungan kertas kecil yang diikat dengan pita yang juga berwarna merah. Bella membuka kertas itu perlahan, Bella terkejut membaca tulisan tangan yang sangat rapi itu.
“Hujan tak henti turun, Bel, dan kamu pasti sangat menikmati itu.”
Kalimat yang sangat singkat itu membuat Bella terhenyak. Bulir bening hampir saja mengalir dari matanya, kalau dia tidak segera menyadari masih ada mbok Nah di dekatnya.
“Mbok, hari ini aku mau bawa mobil sendiri, nanti jangan lupa jendela kamarku ditutup ya,” pesan Bella pada mbok Nah.
“Ya, non. Hati-hati ya non.”
Bella mengiyakan sambil memasukkan kotak kecil itu ke dalam tasnya. Lalu bergegas menuju garasi.

Ternyata Tisa sudah lebih dulu sampai di toko. Bella hanya tersenyum kecil, memutar musik dari lap topnya kemudian duduk di sudut favoritnya. Sepanjang hari Bella hanya terdiam. Tentu saja Tisa penasaran.
“Bella, kamu kenapa?” tanya Tisa.
“Nggak apa-apa, Tis,” jawab Bella sambil tersenyum.
“Kamu bohong, Bel.. Kamu lagi ada masalah kan? Cerita saja Bella, seperti biasa.”
Bella menatap mata Tisa, air mata mulai berhamburan dari matanya. Tisa segera memeluknya.
“Tenang Bella, kamu selalu punya aku untuk berbagi.”
Tisa sengaja membiarkan Bella terus menangis, mungkin itu bisa membuatnya lega. Setelah terdiam Bella memulai ceritanya. Tisa mendengarkan dengan seksama.
“Ini tentang hujan itu, Tis...”

“Bella, aku mo ngomong..” kata Satria sesampainya di halte depan sekolah Bella. Hari itu ekstrakurikuler teater selesai menjelang maghrib. Setelah berpamitan pada teman-temannya tadi, Bella bergegas menuju halte depan sekolahnya. Dan Satria, cowok yang selama ini ditaksir Bella, mengejar Bella, mensejajari langkah Bella, dan itu sukses membuat Bella deg-degan setengah mati. Hujan mulai turun rintik-rintik. Bella tersenyum mempersilahkan Satria bicara.
“Bella... Aku tahu waktunya kurang tepat, tapi aku sudah sekuat tenaga mengumpulkan keberanianku.”
“Sat, emangnya aku macan apa, mo ngomong aja pake ngumpulin keberanian?”
Mereka tersenyum, Satria mendekati Bella, hingga jarak mereka hanya tinggal beberapa centi. Satria menggenggam tangan Bella. Bella sangat terkejut, tapi juga senang.
“Bella...” ucapan Satria terhenti. Bella menatap Satria. Ditemuinya mata teduh Satria yang sangat didambanya.
“Ada apa, Satria?” Bella bertanya, karena Satria tak kunjung meneruskan ucapannya.
“Bella... Aku sayang kamu, aku harap kamu mau jadi pacar aku,” pinta Satria sambil tiba-tiba berlutut di hadapan Bella. Bella sangat terkejut, dia sama sekali tak menyangka Satria akan menyatakan cintanya, apalagi dengan cara yang ajaib seperti itu. Bella cukup lama terdiam dalam keterkejutannya. Sampai akhirnya Satria kembali bicara.
“Bella, i know i can’t be romantic, tapi rasa sayangku tulus Bel, aku suka kamu sejak pertama kita ketemu dulu. Aku nggak bisa buat puisi ataupun menyanyikan lagu cinta, anggap saja bunyi hujan itu sebagai serenada, dan bias lampu warna-warni itu sebagai lilin,” Satria menunggu reaksi Bella. Bella memandang Satria di depannya dengan tatapan tak percaya, Bella speechless, karena justru menurutnya, apa yang dilakukan Satria lebih romantis dari film-film korea kesayangan mbok Nah.
“So... Bella, would you be my girl?”
Segera Bella tersadar, telah cukup lama dia membiarkan Satria berlutut, sampai banyak pasang mata memperhatikan mereka. Bella menarik tangan Satria agar berdiri. Tangan mereka masih tetap terpaut. Bella menatap dalam-dalam mata Satria, ingin menemukan ketenangan yang lain di sana.
“Of course, i will...” kata Bella sambil tersenyum. Satria tersenyum dan menarik napas lega. Diciumnya kening Bella dengan penuh kasih.
Bella lega, perasaan yang dipendamnya dari kelas 1 sma sampai kini kelas 2 ternyata tidak bertepuk sebelah tangan.

Hubungan mereka berlanjut tanpa hambatan berarti. Sampai saat menjelang kelulusan, saat menikmati hujan di sebuah kafe, Satria mengatakan hal yang sangat mengejutkan, sama mengejutkannya seperti saat Satria menyatakan cintanya.
“Bella, setelah lulus nanti, aku akan melanjutkan kuliah ke Perancis,” kata Satria sambil mengaduk-aduk cokelat panas di hadapannya. Bella sangat terkejut.
“Bukannya kita bakalan sama-sama ikut PMDK, Sat?” tanya Bella.
“Maafin aku, Bella. Tapi Sourbone University udah jadi mimpiku sejak lama,” Satria masih menunduk.
“Mimpi sejak lama? Kapan? Sejak kamu belum ketemu aku? Sejak kamu masih SD? Atau TK?” Nada suara Bella mulai mulai meninggi.
“Sejak SMP, Bel,” jawab Satria lemah.
“Kenapa aku nggak tahu, Sat? Kenapa kamu nggak pernah bilang sama aku?” tanya Bella memelas. Hati Satria juga perih, tapi dia harus kejar cita-citanya.
“Maafin aku, Bel..” Satria tak menemukan lagi binar di mata Bella seperti biasanya.
“Maaf, Sat? Untuk apa? Ninggalin aku? Untuk janjimu ikut PMDK dan kuliah di universitas yang sama? Untuk mimpi-mimpi yang kamu berikan bahkan di saat aku tak terlelap?”
“Aku juga pengen tetap sama kamu, Bel. Tapi aku punya cita-cita, aku mohon kamu ngertiin aku, Bel.”
“Satria, aku tuh sayang kamu, tentu saja aku akan mendukung semua cita-cita kamu. Aku bukannya menghambat cita-cita kamu. Kamu tahu kenapa aku kayak gini? Karena kamu bohong, Sat. Kamu nggak bilang dari awal kalau kamu bakal ninggalin aku, bahkan kamu sempat bicara muluk akan tetap bersamaku. Kalau saja kamu nggak pernah bilang itu semua, tentu aku akan sangat mendukungmu, ke ujung dunia sekalipun. Karena pasti aku udah nyiapin diri aku untuk menjalani hubunngan jarak jauh, atau bahkan menyiapkan diri aku untuk ke Perancis juga. Tapi kamu buat aku kecewa, Sat...” kalimat Bella menggantung. Dia menyusut air mata dengan tangannya.
“Aku benar-benar minta maaf, Bel. Aku nggak pernah punya keberanian untuk mengatakan ini,” Satria menggenggam tangan Bella.
“Aku janji, Bel, kita akan tetap intens berkomunikasi. Aku akan rajin telepon kamu, sms, email, dan kita khan bisa video call dan chatting Bel.”
Bella menarik tangannya dari genggaman Satria. Air matanya berhamburan.
“Kamu masih berani janji, Sat??” Bella segera berdiri menembus hujan. Berlari, memanggil taksi dan pulang ke rumah. Kali ini Bella sama sekali tak menginginkan Satria mengejarnya seperti film-film korea yang masih tetap jadi tontonan favorit mbok Nah. Karena Bella benar-benar ingin sendiri.

Satu minggu Bella tidak pergi ke mana-mana. Hanya ke sekolah saja. Dia sama sekali tidak mau menemui Satria. Meskipun tiap hari Satria datang ke rumahnya, sejak pulang sekolah sampai malam, Bella tak sekalipun menemui Satria. Sampai hari ke sembilan, setelah maghrib, Bella mau menemui Satria, tentu saja atas bujukan sang mama. Sampai di teras, Bella duduk di kursi sebelah Satria. Mata Satria bersinar, karena usahanya tak sia-sia.
“Bel... Aku bener-bener minta maaf, aku sama sekali nggak bermaksud sakitin kamu, Bel.”
Bella tersenyum.
“Udahlah, Sat... Aku bisa ngerti kok. Semua itu demi masa depan dan cita-cita kamu. Nie juga bikin aku sadar, segala sesuatu dalam hidup, belum tentu berjalan sesempurna yang kita rencanain.” Mata Bella memandang lurus ke depan.
“Makasih, Bel. Aku akan terus hubungin kamu,” mata Satria kembali bersinar, tangannya menggenggam jemari Bella erat. Bella terisak dalam pelukan Satria.

“Sampai tiga bulan di Belanda, dia masih intens kasih aku kabar, Tis. Tapi setelah itu, aku sama sekali tidak bisa menghubunginya. Teleponnya mati, email nggak pernah di bales, ym nggak pernah online, akun jejaring sosialnya juga nggak pernah update. Aku sama sekali nggak ngerti mesti ngapain lagi. Sampai sekarang udah dua tahun, Tis,” Bella menyusut sisa-sisa air matanya.
“Kamu gila ya, Bel, udah dua tahun dan kamu masih tetap setia nungguin dia?” Tisa memeluk Bella.
“Dia udah balik, Tis..” kata Bella.
“Udah nemuin kamu?” tanya Tisa.
“Ini...” Bella mangeluarkan kotak kecil berpita merah dari dalam tasnya. Tisa membuka dan membaca gulungan kertas di dalamnya.
“Bel, aku nggak ngerti deh, apa hubungan tulisan ini ma Satria...”
“Dulu, kami sering menikmati hujan bersama, hanya dia yang tahu kalo aku suka banget berlama-lama memandang hujan, pasti dia yang ngirim kotak ini ke rumah. Meski lewat tukang ojeg,” kata Bella menganalisa.
“Dan berarti, dia udah di indonesia sekarang, dan dia bakalan nemuin kamu,” sambung Tisa sambil kembali memeluk Bella.
“Kamu udah nggak bakal nganggep aku kesambet lagi khan, Tis, kalo aku ngeliatin hujan lama-lama,” kata Bella.
“Of course no, dear... Coba kamu cerita dari dulu, pasti aku bisa ngerti kebiasaan aneh kamu itu.”
Mereka berdua tertawa lepas.

Keesokan harinya, Bella menemukan kotak kecil yang sama persis seperti kemarin. Bella berdebar saat membukanya. Isinya, gulungan kertas kecil dengan pita merah yang sama.
“Bella... temui aku di Cozzy Cafe, sore ini jam 3. Sebelum hujan turun, Bel, dan aku akan menemanimu memandang hujan itu.”
Hati Bella bersorak kegirangan, penantiannya berujung manis, Satria telah pulang ke Indonesia. Dia bergegas menyiapkan little black dress, sepatu kitten heels, clutch, dan semua yang dibutuhkannya nanti. Dia tidak ingin melihat Satria kecewa melihatnya, dia ingin tampil sempurna. Bella memasukkan semua keutuhannya ke dalam mobil, karena dari toko bunga, dia akan langsung ke Cozzy Cafe. Kafe itu tempat yang bersejarah bagi Bella, karena hampir setiap hari Satria mengajaknya hang out di situ. Tempat duduk favorit mereka adalah di pojokan dekat pintu masuk, dari situ mereka bisa bebas menebarkan pandangan ke seluruh penjuru kafe, juga bebas memandang hujan di balik jendela kaca yang super besar, kalaupun nggak hujan, kesibukan di jalan raya menjadi hal yang cukup layak untuk dijadikan bahan pembicaraan.

Jam 3 kurang seperempat, Bella sudah duduk di meja pojokan tempatnya dan Satria biasa duduk. Matanya memandang ke seluruh kafe, tak dilihatnya Satria di sana. Tangannya sibuk mengetuk-ngetuk meja untuk mengurangi kegugupannya. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Bella melirik jam tangannya, jam 3 lebih 5 menit, Satria belum datang juga. Jangan-jangan dia lupa, atau mungkin kena macet, karena jam segini adalah jam pulang kantor. Seperempat jam berlalu, bahkan setengah jam berlalu, dan Satria tak juga muncul. Bella mulai kehilangan harapannya, dadanya terasa sesak. Dia menunduk, sekuat tenaga menahan air matanya. Tapi tiba-tiba ada yang memanggilnya.
“Bella....”
Bella mendongakkan wajahnya, ditemuinya sesosok pria tampan dengan senyum mengembang di bibirnya. Tapi dia bukan Satria.
“Rio.....” kata Bella perlahan.
Rio, teman kuliah Bella, duduk di hadapan Bella.
“Maaf, Bel, aku terlambat,” kata Rio setelah duduk di hadapan Bella.
Bella terkejut. Rio meminta maaf pada Bella karana terlambat? Jadi yang ditunggu Bella itu bukan Satria?
“Maksud kamu...?” Bella bertanya sambil mengerutkan keningnya.
Rio kembali tersenyum dengan senyum yang sangat manis. Pantas saja cewek-cewek populer di kampus Bella tergila-gila padanya.
“Aku yang memintamu datang ke sini, Bel,” Rio tetap tersenyum.
“Jadi kotak-kotak berpita merah itu kamu yang mengirimnya?”
“Ya, Bel, aku yang ngirim.”
Bella tercekat mendengar jawaban Rio, dadanya bertambah sesak, sekuat tenaga dia berusaha menatap mata Rio, matanya berbinar penuh kedamaian, tapi tetap saja sorot mata yang berbeda dengan yang dimiliki Satria.
“Dari mana kamu tahu aku suka hujan?”
“Dari kamu sendiri,” jawaban Rio membuat Bella bingung, meski tanpa diucapkan, Rio bisa membacanya dari mata Bella.
“Dulu, aku pernah melihatmu berdiri sendirian saat hujan deras, di balkon ruang senat. Aku menghampirimu, dan bertanya, apa enaknya memandang hujan seperti itu, sendirian lagi. Kamu bilang, feel it, sejuk, tenang, dan damai. Aku sempat bingung, tapi lama kelamaan aku menjadi terbiasa. Aku selalu perhatiin kamu, tapi aku nggak berani deketin kamu, aku takut ganggu kamu, you really enjoy it. Bahkan kadang kamu tersenyum sendiri, aku nggak tega ngrusak kenyamanan kamu.” Rio mendesah, matanya memandang ke luar, hujan mulai turun rintik-rintik.
Bella hanya diam, tak menyangka Rio memperhatikannya selama ini. Rio yang pasti membuat semua cewek berdebar saat di dekatnya, tak terkecuali Bella.
“Bella....” tangan Rio bergerak menggenggam tangan Bella. Bella memejamkan mata, merasakan kehangatan tangan Rio. Dulu, Bella pernah merasakannya, dari tangan yang berbeda.
“Bella, bolehkah aku mengisi hari-harimu, Bel? Menemanimu memandang hujan, hingga kamu bisa berbagi semua yang kau rasakan?”
Bella diam, air matanya menetes.
“Kenapa kamu nangis, Bel? Apa aku salah ngomong? Apa kata-kataku nyakitin kamu, Bel?”
Bella masih terdiam.
“Maafin aku, Bel... Aku emang nggak pinter ngomong, nggak pinter bikin suasana romantis, tapi aku ingin kamu jadi pacar aku, Bel,” pinta Rio sambil mengusap air mata Bella.
Bella tercekat, kata-kata serupa juga pernah di dengarnya, hanya saja dari mulut yang berbeda. Hampir saja Bella terhanyut. Tapi hatinya berteriak, bukan Rio yang ditunggunya. Perlahan-lahan, Bella menarik tangannya dari genggaman Rio, mengusap air matanya. Kemudian bibirnya menyunggingkan senyum, meski matanya masih tetap berair. Ditatapnya mata Rio.
“Maaf, Rio... Aku nggak bisa jadi pacar kamu, terima kasih atas semua perhatian kamu,” Bella kembali tersenyum, kemudian berdiri dan berlalu meninggalkan Rio yang tertegun di tempatnya. Bella berjalan menembus hujan, dia sadar, penantiannya belum berakhir indah, tapi melarikan semua kegelisahannya pada Rio juga bakan hal yang tepat. Di tengah hujan, Bella berhenti dan menoleh, dilihatnya Rio memandangnya dari jendela besar itu, kosong.
“Maybe someday, Rio, saat Satria sudah benar-benar hilang dari hidupku,” bisik hati Bella. Bella menarik napas panjang lalu bergegas menembus hujan menuju parkiran kafe. Entah apa yang akan diceritakannya pada Tisa.

pengarang : beny " kumpulan cerita " B-Mus
bersambung ......ntar dilanjutin lagi......
Bagikan :
+
Previous
Next Post »
0 Komentar untuk "Hujan di hati Bella"

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 
Copyright © 2015 B-Mus - All Rights Reserved
Template By Kunci Dunia
Back To Top