MISI utama penetapan Taman Nasional Ujung Kulon sebagai warisan alam dunia (the natural world heritage site) antara lain untuk menghindarkan badak jawa (Rhinocerus sondaicus) dari kepunahan. Oleh karena itu, seluruh pengelolaan kawasan TNUK harus mengacu pada misi tersebut.
Potensi berupa kekayaan flora dan fauna di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) pada dasarnya tidak haram untuk dimanfaatkan. Namun, langkah-langkah eksploitasi itu harus selaras dengan misi di atas, yakni konservasi alam dan lingkungan. Satu model eksploitasi yang kini tengah dirancang Balai TNUK adalah ekowisata.
Sebuah model pemanfaatan alam untuk kegiatan wisata berbasis lingkungan. Hasilnya, jika pengembangan ekowisata berjalan, seperti bunyi pepatah, “sekali mendayung, dua-tiga pulau terlampaui”. Di satu sisi misi konservasi terpenuhi, di sisi lain manfaat ekonomis bisa diperoleh.
Dalam hal ini, kawasan TNUK sangat potensial untuk pengembangan ekowisata. Ada sekitar 33 tempat potensial yang bisa dimanfaatkan untuk obyek ekowisata. Sebanyak 10-15 tempat di antaranya kini sudah menjadi obyek wisata.
Sebutlah, misalnya, Pulau Peucang, padang penggembalaan (grazing ground) di Cidaun, Cibom, Tanjung Layar, Pulau Panaitan, Sungai Cigenter, jalur selatan Karang Ranjang-Cibandawoh-Cibunar-Cidaun untuk trekking, wisata ziarah di Sanghiang Sirah, Pulau Handeuleum, dan air panas Cibiuk.
Potensi alam tersebut menawarkan berbagai alternatif jenis wisata. Seperti yang selama ini ditawarkan Balai TNUK, bentuk wisata di darat meliputi penjelajahan (trekking), fotografi (photo hunting), menikmati burung (bird watching), dan pengamatan kehidupan satwa liar.
Untuk wisata bahari, bentuk yang difasilitasi seperti menyelam (diving), snorkeling, berselancar (surfing), mendayung (canoing), memancing, dan rekreasi pantai. Dalam hal potensi selancar, perairan Pulau Panaitan disebut-sebut sebagai salah satu dari tiga tempat terbaik di dunia untuk hobi itu.
Semua potensi tersebut jika dikembangkan dengan tepat akan menghasilkan pundi-pundi uang tanpa merusak alam.
Kepala Balai TNUK M Awriya Ibrahim memaparkan, pengembangan ekowisata di Ujung Kulon tidak terlepas dari cita-cita untuk mendapatkan dana yang berkesinambungan (sustainable funding).
Selama ini pengelolaan kawasan TNUK masih mengandalkan dana dari pemerintah dan bantuan dari luar negeri. Pengelolaan yang selama ini dilakukan Balai TNUK adalah pengelolaan badak jawa, pengelolaan primata, pengelolaan perairan laut, pengelolaan daerah penyangga, dan pengelolaan wisata.
“Dengan sustainable funding dari ekowisata, kita bisa melakukan pengelolaan taman nasional,” paparnya. Berbagai program pengelolaan tersebut hingga kini belurn berjalan optimal akibat keterbatasan dana. Pengelolaan badak jawa melalui sensus, misalnya, hanya bisa digelar setahun sekali. Idealnya, sensus badak itu dilakukan tiga kali dalam setahun.
Menurut peneliti di Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Moh Ali Fadillah, pemanfaatan alam di kawasan TNUK hanya tepat jika dilakukan melalui ekowisata. “Hanya dengan ekowisata itu pemanfaatan alam tidak meninggalkan dampak lingkungan dan bisa diperbaharui terus-menerus,” ujarnya.
PENGELOLAAN wisata pun belum maksimal. Awriya mengakui, banyak dari tempat-tempat potensial itu belum tergarap karena keterbatasan dana. Ia mencontohkan Pulau Panaitan yang sampai sekarang belum dilengkapi dermaga.
Kurang maksimalnya pengelolaan juga membuat banyaknya potensi wisatawan yang hilang. Diperkirakan, hilangnya potensi wisatawan itu mencapai empat kali lipat dari angka kunjungan riil. Awriya menyebutkan, kunjungan wisatawan ke TNUK setahun terakhir mencapai 4.500 orang.
Hilangnya potensi wisatawan itu terjadi akibat banyaknya pintu masuk ke TNUK sehingga banyak pula pengunjung yang lolos tanpa bisa dikontrol. Akses perjalanan ke kawasan TNUK nyaris tersebar di sepanjang pantai barat wilayah Banten. “Bahkan, dari Ancol (Jakarta—Red) pun bisa masuk ke Panaitan,” kata Awriya
Krisis ekonomi tahun 1998 menjadi penyebab lain dari rendahnya kunjungan wisatawan. Kepala Resor Wisata Pulau Peucang Suhaeli mengungkapkan, sebelum krisis ekonomi, angka kunjungan wisata ke Pulau Peucang rata-rata 600 orang per bulan. “Tetapi, setelah krisis cukup berat, hanya antara 10-20 orang per bulan,” ungkapnya.
Dari sisi kepentingan konservasi, semakin sedikit kunjungan boleh jadi akan semakin baik sebab akan semakin kecil pula dampak terhadap alam yang mungkin timbul akibat kunjungan wisata. Akan tetapi, ketika pengelolaan TNUK membutuhkan dana yang terus mengucur, tidak ada jalan lain kecuali mengoptimalkan ekowisata.
Project Officer World Wide Fund for Nature (WWF) Ujung Kulon Aji Santoso optimistis, hasil pengelolaan ekowisata yang tepat akan mampu menutup biaya pengelolaan TNUK secara keseluruhan. Namun, ia menggarisbawahi bahwa keterlibatan masyarakat sekitar kawasan TNUK dalam pengembangan ekowisata merupakan hal yang tidak bisa ditawar.
Pelibatan masyarakat dalam ekowisata di Ujung Kulon merupakan bagian dari langkah konservasi badak terpadu (an integrated rhyno conservation). Strategi itu akan melengkapi pemberdayaan masyarakat yang sudah berlangsung, baik oleh Balai TNUK maupun LSM seperti WWF.
Konkretnya, masyarakat dilibatkan sebagai tenaga pemandu (tour guide), operator wisata, atau juga penyedia makanan. Menurut Aji, cukup realistis untuk mengandalkan biaya pengelolaan TNUK dari ekowisata.
“Cuma belum terlihat adanya studi tentang berapa kapasitas yang bisa ditampung, kemampuan daya dukung, cashflow-nya, serta break event-nya,” ujarnya.
Pengembangan ekowisata sebaiknya mempertimbangkan fleksibilitas dalam akses. Alih-alih membatasi akses masuk ke kawasan TNUK dengan melalui satu pintu di kantor Balai TNUK Labuan, wisatawan mungkin lebih pas jika diberi keleluasaan memilih pintu masuk.
Namun, langkah ini menuntut kesiapan administrasi di tiap-tiap pos jaga sebagai kepanjangan kantor Balai TNUK. “Terkecuali jika kunjungan itu untuk keperluan dokumentasi atau pengambilan gambar, hal itu tetap harus lewat satu pintu di Labuan,” ujarAji.
SATU hal lainnya yang penting dalam pengembangan ekowisata di TNUK adalah peran pemerintah daerah dan pihak swasta, seperti Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Himpunan Pramuwisata Indonesia (PHI), dan Asosiasi Perusahaan Biro Wisata (Asita).
Menurut pemerhati wisata Banten, M Iwan Nitnet, peran birokrasi dan swasta dalam urusan pariwisata beberapa tahun terakhir nyaris tak terdengar. Kalaupun ada, peran itu sering tumpang tindih atau tidak ada koordinasi. Ia mencontohkan, buruknya sarana jalan ke Taman Jaya, Ujung Kulon, hingga kini belum ada upaya perbaikan.
“Dana-dana untuk promosi yang menjadi wewenang pemerintah provinsi akan lebih bermanfaat jika digunakan untuk memperbaiki sarana jalan dulu. Hasilnya akan membuat pengunjung kecewa jika setelah promosi ternyata prasarana fisik itu tidak memadai,” ungkap Iwan.
Pelibatan masyarakat sekitar kawasan TNUK sebagai bagian dari pengelolaan ekowisata seharusnya difasilitasi HPI atau Asita dengan memberikan pelatihan-pelatihan di bidang pariwisata. Pendek kata, upaya pengelolaan ekowisata sebagai alternatif pemanfaatan potensi alam TNUK memerlukan keterpaduan semua pihak. (SAM)
sumber:http://www.ekowisata.co.cc/2009/08/mengelola-taman-nasional-dengan.html
Next
« Prev Post
« Prev Post
Previous
Next Post »
Next Post »
0 Komentar untuk "Mengelola Taman Nasional dengan Ekowisata"