PENANGGULANGAN KEMISKINAN BERBASIS MASYARAKAT

Otonomi Daerah membawa konsekuensi adanya penyerahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan serta perencanaan pembangunan. Pembangunan daerah dilaksanakan berdasarkan pada kondisi dan potensi yang dimiliki daerah.

Daerah harus mengetahui segala potensi yang dimiliki serta lihai mengelolanya sehingga mampu melaksanakan pembangunan.

Pemerintah Daerah memiliki keleluasaan yang lebih banyak untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan sehingga pembangunan bisa mengarah pada pengelolaan secara bottom up. Dengan demikian Pemerintah daerah bukan lagi sekedar operator pembangunan, tetapi juga sebagai entrepreneur, koordinator, fasilitator dan stimulator.[1]

sumber:http://4lvoe.blogspot.com/2008/10/penanggulangan-kemiskinan-berbasis.html

Dengan pengelolaan yang bottom up akan menciptakan suatu pembangunan yang kreatif yaitu pembangunan yang mampu memberikan ciri khas daerahnya sendiri sehingga daerah tersebut nantinya akan memiliki keunggulan yang kompetitif.

Namun di lain pihak, anggaran pembangunan yang tersedia terbatas sedangkan program pembangunan yang dibutuhkan relatif banyak. Dalam hal ini Pemerintah Daerah dituntut untuk mampu melakukan penentuan prioritas program pembangunan yang diusulkan dimana penyusunannya berdasarkan kriteria yang terukur dan mampu meningkatkan partisipasi masyarakat untuk menunjang impelementasi program pembangunan tersebut.

Kewenangan pengambil keputusan dan tanggung jawab penyelenggaraan pemerintahan serta pelayanan kepada masyarakat sepenuhnya ada pada pemerintah daerah dan legislatifnya termasuk dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan. Salah satunya adalah penyelenggaraan pelayanan bagi masyarakat miskin.

Kemiskinan merupakan permasalahan yang harus segera tuntas karena keadaan miskin membuat masyarakat menjadi lemah dan tidak bermartabat.

Pemerintah baik pusat maupun daerah telah berupaya dalam melaksanakan berbagai kebijakan dan program-program penanggulangan kemiskinan namun masih jauh panggang daripada api. Kebijakan dan program yang dilaksanakan belum menampakkan hasil yang optimal. Masih terjadi kesenjangan antara rencana dengan pencapaian tujuan karena kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan lebih berorientasi pada program sektoral. Oleh karena itu diperlukan suatu strategi penanggulangan kemiskinan yang terpadu, terintegrasi dan sinergis sehingga dapat menyelesaikan masalah secara tuntas. Kunci pemecahan masalah kemiskinan adalah memberi kesempatan kepada masyarakat miskin untuk ikut serta dalam seluruh tahap pembangunan.

KEMISKINAN SEBAGAI MASALAH BERSAMA
Kemiskinan adalah suatu fenomena sosial yang tidak hanya dialami oleh negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia namun juga bagi negara maju yang telah memiliki kemapanan dalam bidang ekonomi.

Kemiskinan sebagai masalah bersama tidak dapat hanya diselesaikan oleh pemerintah melalui berbagai kebijakan pembangunan, akan tetapi juga harus menjadi tanggung jawab bersama bagi semua pelaku pembangunan termasuk masyarakat itu sendiri.

Program pembangunan yang diarahkan kepada masyarakat miskin dapat dipandang sebagai upaya memenuhi kebutuhan dasar yaitu kebutuhan akan sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan. Untuk dapat merencanakan program pembangunan sektoral yang holistik diperlukan suatu metode penentuan sasaran yang mapan. Oleh karena itu, pengembangan informasi yang berkaitan dengan profil penduduk miskin dan wilayah miskin harus dapat digunakan sebagai dasar penentuan sasaran secara tepat dan terarah.

Secara umum kemiskinan jika dilihat dari penyebabnya dapat dikategorikan menjadi 3 kelompok utama yaitu kemiskinan struktural, kemiskinan kultural dan kemiskinan alami. Kemiskinan struktural lebih disebabkan pada hal-hal yang berhubungan dengan kebijakan, peraturan, serta lembaga yang ada di masyarakat yang menghambat produktivitas dan mobilitas masyarakat. Kemiskinan kultural berkaitan dengan nilai-nilai sosial budaya yang tidak produktif, tingkat kesehatan yang buruk serta pendidikan yang rendah sedangkan kemiskinan alami terkait dengan kondisi alam dan geografis yang tidak mendukung masyarakat seperti daerah yang tandus, terpencil atau bahkan terisolasi.

Bali sebagai daerah tujuan wisata juga tidak terlepas dari kondisi masyarakat miskin baik struktural, kultural maupun alamiah. Mengutip pernyataan Kabid Sosbud Bappeda Provinsi Bali, Pande Maliana, pada media Bali Post tanggal 30 Mei 2006, dinyatakan bahwa kondisi kemiskinan di Bali disebabkan faktor alamiah seperti lahan kritis, tandus dan curah hujan yang rendah. Kemiskinan kultural karena perilaku dan kebiasaan masyarakat yang keliru serta kemiskinan struktural lantaran adanya kesenjangan akibat kebijakan pembangunan yang tidak tepat.
Faktor yang memicu terjadinya kemiskinan diantaranya rendahnya taraf pendidikan sehingga mengakibatkan terbatasnya kesempatan dalam memperoleh pekerjaan dan rendahnya tingkat kesehatan yang menyebabkan rendahnya daya tahan fisik, daya pikir serta prakarsa.

Salah satu tingkat kemiskinan di Bali dapat dilihat dari jumlah rumah tangga miskin (RTM). Hal ini sangat relevan mengingat secara umum masyarakat miskin bergantung hanya pada kepala keluarganya. BPS melakukan pendataan rumah tangga miskin dengan menggunakan 14 variabel kemiskinan dimana variabel ini memiliki hubungan yang sangat erat dengan kemampuan memenuhi kebutuhan kalori dan kebutuhan dasar non makanan. Adapun variabel-varabel yang dimaksud adalah

1. Luas lantai bangunan tempat tinggal <>
2. Lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan.
3. Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester.
4. Tidak mempunyai fasilitas buang air besar
5. Penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.
6. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan.
7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah.
8. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam satu minggu.
9. Hanya membeli satu setel pakaian baru dalam satu tahun.
10. Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari
11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di Puskesmas/poliklinik.
12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah petani : dengan luas lahan <>
13. Pendidkan tertinggi kepala rumah tangga : tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD.
14. Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai minimal Rp 500.000,00 seperti sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.

Dari seluruh jumlah rumah tangga miskin di Provinsi Bali sebagian besar bermukim di bagian utara dan timur pulau Bali. Jika dilihat secara absolut, sebaran rumah tangga miskin terbanyak berada di Kabupaten Buleleng namun secara proporsional dari masing-masing kabupaten/kota proporsi rumah tangga miskin terbesar berada di Kabupaten Karangasem. Hal ini tidaklah mengherankan jika kita melihat kondisi geografis dari kedua daerah tersebut. Banyak kawasan di Kabupaten Buleleng maupun Kabupaten Karangasem yang memiliki kondisi alam yang kritis, tandus, curah hujan yang rendah serta sering terjadi bencana alam.

Kondisi ini masih memprihatinkan mengingat begitu banyak program pembangunan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam menanggulangi kemiskinan.

Banyak masyarakat miskin yang telah tersentuh program penanggulangan kemiskinan namun hasilnya belum seperti yang diharapkan. Masyarakat miskin yang telah tersentuh program pengentasan kemiskinan tidak beranjak dari kondisi kemiskinannya. Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait dengan permasalahan ini. Pertama, program penanggulangan masih berorientasi pada aspek ekonomi semata. Kenyataan yang ada bahwa masalah kemiskinan merupakan masalah multi dimensi sehingga program penanggulangan kemiskinan hendaknya tidak hanya memprioritaskan aspek ekonomi tapi juga aspek lainnya secara holistik.

Kedua, program penanggulangan kemiskinan dengan pola top down planning memposisikan masyarakat miskin sebagai obyek bukan sebagai subyek atau pelaku utama yang aktif terlibat dalam aktivitas program tersebut. Untuk itu perlu melibatkan masyarakat miskin dalam keseluruhan proses penanggulangan kemiskinan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi, bahkan jika memungkinkan sampai pada tahap pengambilan keputusan.

Ketiga, Program penanggulangan kemiskinan lebih bersifat sebagai suatu bentuk rasa murah hati dari pemerintah yang akhirnya mengenyampingkan produktivitas masyarakat miskin dan mendorong masyarakat miskin lebih menggantungkan diri pada bantuan yang diberikan oleh pihak lain. Seharusnya masyarakat miskin dipandang sebagai sumberdaya manusia yang berpotensi untuk berpikir dan bertindak yang pada saat ini memerlukan penguatan agar mampu memanfaatkan daya yang dimiliki. Masyarakat miskin akan mampu membangun dirinya sendiri jika pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah mau memberikan kebebasan kepada masyarakat tersebut untuk mengatur dirinya sendiri yang diikuti oleh peran pemerintah sebagai fasilitator.

Ruang lingkup program penanggulangan kemiskinan seharusnya tidak hanya mengenai besarnya jumlah bantuan yang diberikan kepada sasaran namun juga harus terdapat upaya peningkatan kemampuan, kewenangan serta tanggung jawab masyarakat khususnya masyarakat miskin dalam pengelolaan tersebut.


MEMBERDAYAKAN MASYARAKAT DALAM MENANGGULANGI KEMISKINAN
Seperti telah disampaikan sebelumnya bahwa program-program penanggulangan kemiskinan masih belum mencapai sasaran yang optimal. Hal ini berakibat banyak proyek pembangunan yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat miskin menjasi salah alamat dan tidak memecahkan masalah.

Untuk itu diperlukan pemahaman dalam penanggulangan kemiskinan yang lebih melibatkan masyarakat miskin sebagai pelaku pembangunan. Masyarakat miskin tidak lagi hanya sebagai obyek yang dianggap tidak mampu sehingga tidak dilibatkan dalam proses perencanaan yang berdampak pada pelaksanaan kebijakan yang salah sasaran.

Melibatkan masyarakat tidak hanya sekedar berpartisipasi namun lebih daripada itu. Masyarakat miskin diberdayakan dalam proses pembangunan utamanya dalam menanggulangi kemiskinannya.

Pemberdayaan pada dasarnya merupakan suatu proses yang dijalankan dengan kesadaran dan partisipasi penuh dari para pihak untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas masyarakat sebagai sumberdaya pembangunan agar mampu mengenali permasalahan yang dihadapi dalam mengembangkan dan menolong diri menuju keadaan yang lebih baik, mampu menggali dan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia untuk kepentingan diri dan kelompoknya, serta mampu mengeksistensikan diri secara jelas dengan mendapat manfaat darinya.

Pemberdayaan adalah sebuah ”proses menjadi”, bukan ”proses instan”. Sebagai proses, pemberdayaan mempunyai tiga tahapan yaitu penyadaran, pengkapasitasan, dan pendayaan.[2]

Tahap penyadaran, target sasaran yaitu masyarakat miskin diberikan pemahaman bahwa mereka mempunyai hak untuk menjadi berada. Di samping itu juga diberikan penyadaran bahwa mereka mempunyai kemampuan untuk keluar dari kemiskinannya. Pada tahap ini, masyarakat miskin dibuat mengerti bahwa proses pemberdayaan itu harus berasal dari diri mereka sendiri. Diupayakan pula agar komunitas ini mendapat cukup informasi. Melalui informasi aktual dan akurat terjadi proses penyadaran secara alamiah. Proses ini dapat dipercepat dan dirasionalkan hasilnya dengan hadirnya upaya pendampingan.

Tahap Pengkapasitasan, tahap ini bertujuan untuk memampukan masyarakat miskin sehingga mereka memiliki keterampilan untuk mengelola peluang yang akan diberikan. Tahap ini dilakukan dengan memberikan pelatihan-pelatihan, lokakaya dan kegiatan sejenis yang bertujuan untuk meningkatkan life skill dari masyarakat miskin. Pada tahap ini sekaligus dikenalkan dan dibukakan akses kepada sumberdaya kunci yang berada di luar komunitasnya sebagai jembatan mewujudkan harapan dan eksistensi dirinya. Selain memampukan masyarakat miskin baik secara individu maupun kelompok, proses memampukan juga menyangkut organisasi dan sistem nilai. Pengkapasitasan organisasi melalui restrukturisasi organisasi pelaksana sedangkan pengkapasitasan sistem nilai terkait dengan ”aturan main” yang akan digunakan dalam mengelola peluang.

Tahap Pendayaan, pada tahap ini masyarakat miskin diberikan peluang yang disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki melalui partisipasi aktif dan berkelanjutan yang ditempuh dengan memberikan peran yang lebih besar secara bertahap sesuai dengan kapasitas dan kapabilitasnya. Masyarakat miskin diakomodasi aspirasinya serta dituntun untuk melakukan self evaluation terhadap pilihan dan hasil pelaksanaan atas pilihan yang dilakukan.

Konsep pemberdayaan masyarakat dapat dikembangkan sebagai mekanisme perencanaan dan pembangunan yang bersifat bottom up yang melibatkan peran serta masyarakat dalam berbagai kegiatan perencanaan dan pembangunan. Dengan demikian, program penanggulangan kemiskinan disusun sesuai dengan yang dibutuhkan oleh masyarakat yang berarti dalam penyusunan program penanggulangan kemiskinan dilakukan penentuan prioritas berdasarkan besar kecilnya tingkat kepentingan sehingga implementasi program akan terlaksana secara efektif dan efisien.

Melalui pemberdayaan, masyarakat akan mampu menilai lingkungan sosial ekonominya serta mampu mengidentifikasi bidang-bidang yang perlu dilakukan perbaikan. Tahapan selanjutnya dari pemberdayaan adalah mewujudkan masyarakat yang mandiri berkelanjutan. Mandiri adalah langkah lanjut yang rasional dari masyarakat yang telah sejahtera. Dalam kata mandiri telah terkandung pengertian ada usaha untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dengan usaha sendiri tanpa tergantung pada orang lain. Dalam pemandirian masyarakat miskin hendaknya tidak mengabaikan potensi dan kapasitas yang tersisa dalam diri maupun kelompoknya serta menghindarkan diri dari budaya cepat puas dan merasa cukup. Dalam pemandirian masyarkat miskin diajak untuk mengembangkan jejaring komunikasi sehingga mereka bisa menambah wawasan dan selalu diingatkan untuk memiliki pikiran yang maju berwawasan jauh ke depan untuk menjangkau kondisi yang lebih baik.

PENUTUP
Dalam memberdayakan masyarakat miskin sangat diperlukan partisipasinya sebagai kekuatan dinamisasi dan perekat masyarakat akar rumput untuk menunjang pembangunan. Pemberdayaan memberi ruang bagi pengembangan keberagaman kemampuan masyasakat miskin dimana satu sama lain akan saling melengkapi.

Memberdayakan masyarakat dalam melaksanakan program penanggulangan kemiskinan harus mampu meningkatkan partisipasi dan rasa memiliki terhadap program yang dilaksanakan.

Jadi dalam melaksanakan program penanggulangan kemiskinan bukanlah jumlah bantuan yang diutamakan teapi bagaimana menggerakkan partisipasi masyarakat sehingga menciptakan pembangunan yang berbasis kepada masyarakat.
[1] Lincolin Arsyad, ”Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah”, 1999
[2] Randy R Wrihatnolo dan Riant Nugroho Dwidjowijoto, ”Manajemen Pemberdayaan. Sebuah Pengantar dan Panduan Untuk Pemberdayaan Masyarakat”, 2007

By : Putu A. Pramitha P.

Jurnal Ekonomi dan Sosial "INPUT"

Volume 1 Nomor 1 Februari 2008
Bagikan :
+
Previous
Next Post »
1 Komentar untuk "PENANGGULANGAN KEMISKINAN BERBASIS MASYARAKAT"

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 
Copyright © 2015 B-Mus - All Rights Reserved
Template By Kunci Dunia
Back To Top